Manusia jangka pendek ngomongin politik, manusia jangka menengah ngomongin IPTEK, manusia jangka panjang ngomongin cinta. Jadi begini, dulu ada seorang aktivis terkenal, dengan suara yang lantang ia menuntut kekuasaan orde baru, ia juga terlibat dalam pelengseran kekuasaan reformasi 98 dan berhasil. Singkat cerita setelah peristiwa itu, ia akhirnya masuk ke dalam dunia parpol, alasannya sih katanya dengan masuk ke parlemen maka akan lebih mudah dalam memperbaiki sistem di negeri ini.

Bagai pungguk merindukan bulan, yang terjadi hingga hari ini malah ia tak mampu untuk mewujudkan cita-citanya tersebut. Bahkan, ia semakin jatuh ke dalam hingar bingar kekuasaan. Nah, orang-orang seperti ini gak cuma satu-dua aja, tetapi ada banyak, mereka juga lupa dengan idealismenya yang dulu. Akibatnya adalah kekuasaan dan jabatan membuat akal pikiran mereka mungkin sedikit “tumpul”, hingga kebijakan-kebijakan yang berpotensi merugikan orang banyak malah gak mendapat penolakan dari diri mereka sendiri.

peyangg

Beda orang beda cerita. Soal reformasi, Mbah Nun juga pernah ikut melakukan gerakan atau perlawanan menentang kekuasaan orde baru yang sudah sangat lama berkuasa itu. Bahkan, Mbah Nun menjadi salah satu tokoh sentral yang kemudian turut mengantarkan Soeharto lengser. Lantas apa yang selanjutnya Mbah Nun lakukan? Nah, di sinilah titik perbedaannya.

Mbah Nun sadar, dan mengetahui batas kemampuan dirinya dengan enggan mengambil kesempatan kendali kekuasaan kala itu. Padahal saat itu kesempatan terbuka lebar, tetapi Mbah Nun gak mau. Mbah Nun juga gak masuk ke dalam parpol manapun, juga gak menjabat di kementerian apapun. Tapi langkahnya adalah dengan menempuh “jalan sunyi” yang di kemudian hari disebut Maiyah.

Sih Mbah memilih untuk tetap berada di luar kekuasaan, ia lebih memilih untuk menjadi penyeimbang, menjadi pengingat-warning bagi mereka yang berkuasa untuk tidak bertindak sewenang-wenang alias menyalahgunakan kekuasannya. Sikap seperti inilah yang membedakan Mbah Nun dengan para tokoh lainnya dan juga sudah sangat langka dijumpai. Lagi-lagi kita harus tau, dan harus sadar akan batas-kemampuan diri kita masing-masing.

peyangg

Awalnya setelah peristiwa reformasi terjadi, secercah harapan muncul: semoga gaya hidup hedonis gak merasuki para petinggi negeri di semua tingkatan, semoga gak korup, semoga gak menjadi maling dan garong. Rasa optimis ini juga sempat muncul sebab demokrasi setelah reformasi menjadi lebih terbuka, khususnya pada sistem pemilunya dan jalannya roda government, baik ditingkat pusat ataupun daerah.

Apalah daya tangan tak sampai, rasa-rasanya situasi hari ini kek melahirkan Soeharto Soeharto kecil? Hari ini kita bisa merasakan bagaimana adanya pelemahan institusi-institusi demokrasi, belom lagi penggunaan aparat, lemahnya oposisi, ditambah adanya oknum yang memanfaatkan UU, dan masih terjadinya pembungkaman. Kalo ini udah terjadi di tengah-tengah kita, fixmungkin kemunduran demokrasi namanya.

Katanya, di negara dem*kr*si kita bebas untuk berbicara tapi uang harus cari sendiri. Di negara ko*un*s makan dicukupi tapi kita gak boleh mengkritik government. Di sini? mengkritik dibungkam-dicuekin tapi uang kudu cari sendiri. Kita harus siap kalo hidup ini gak akan sama dengan apa yang kita inginkan, gak akan sama dengan apa yang kita pikirkan, bahkan hidup ini bisa aja berlaku sebagaimana yang kita benci. Harus siap!

peyangg

Pasca reformasi, iklim demokrasi-politik hari ini malah jadi ke-pedean. Seorang pemimpin misalnya, kalo dia ingin mempimpin harusnya kan diawali dari adanya aspirasi dulu, atau dia yang diinginkan oleh rakyatnya, bukan malah sebaliknya merasa ge-er seolah-olah rakyat menginginkannya untuk menjadi kepala daerah. Padahal iklim demokrasi yang seharusnya lebih kepada menjadikan rakyat sebagai pemilik, bukan sekedar penonton lima tahunan yang selalu kecelik.

Kita juga pernah diingatkan bahwasannya demokrasi hari ini bukan soal menang atau kalah, lebih dari itu adanya keberanian untuk sama-sama hadir bahkan saat kalah sekalipun tetap harus hormat pada proses, dan terus terlibat membangun bangsa, bukan sekedar menyalahkan. Kita ingin demokrasi yang melayani, menemani, menjaga dengan penuh kasih dan tanggung jawab serta tidak ingin demokrasi yang berjarak, serba memerintah dari atas. Sekali lagi,  kita ingin demokrasi yang menyatu, membaur, dan tumbuh bareng-bareng.

peyangg

Hari ini kita juga membutuhkan demokrasi yang bersahaja dalam laku hidup, yang egaliter, yang membimbing tanpa memaksa, yang memimpin tanpa haus kuasa, bahkan demokrasi yang siap menghadapi kenyataan paling keras sekalipun dalam kehidupan rakyatnya. Sebab katanya parameter tertinggi dari kemanusiaan itu adalah siapa yang paling bermanfaat bagi sesama, bukan yang paling berkuasa. Ini juga bagian dari refleksi bersama akan pentingnya makna dari sebuah kepemimpinan yang berlandaskan pelayanan dan pengabdian, bukan dominasi.

Kita juga butuh demokrasi yang tidak berbohong, sebab katanya kebenaran adalah fondasi kepercayaan. Kita butuh demokrasi yang tidak terjerat hawa nafsu duniawi yang bisa aja menjerumuskan kepada penyalahgunaan kekuasaan. Kita butuh pemimpin yang benar-benar memahami apa yang diucapkannya agar kata-kata yang keluar gak menjadi kosong-menyesatkan.

Kita butuh pemimpin yang memimpin bukan karena kekuasaan, tapi karena nilai. Bukan karena jabatan semata, tapi karena kepercayaan. Dan sekali lagi, bukan untuk menguasai, tapi untuk merawat-realitas, perbedaan, dan juga Indonesia. Jangan lupa juga, panggung politik kita hari ini “mungkin” lebih banyak dihuni oleh para pesulap wacana. Siapa yang viral, dia lebih dipilih dari pada yang visioner. Siapa yang pandai memanen simpati, lebih dipercaya dari pada yang mampu memikul beban (Meritokrasi).

Kita udah terlalu lama menunggu, udah terlalu lama memberi mereka waktu, mau berapa lama lagi kita harus bertahan dalam keraguan yang diberi nama harapan ini? Kita udah terlalu sabar, pasca kemerdekaan atau pasca reformasi sebenarnya momentumnya ada tetapi hingga hari ini, entah kenapa jalan kesejahteraan itu masih jauh keberadaannya.... 

Suwun.

 

 

 

Latest
Next Post

post written by:

Ada pepatah bilang begini : tak kenal maka tak sayang. Makannya yuk saling kenal untuk saling sayang, preet!

0 comments: