Berawal dari keputusan sikap pemangku kebijakan yang memberi instruksi langsung bagi seluruh penyelenggara Pendidikan untuk menunda Pembelajaran tatap muka di sekolah. Instruksi ini bukan tanpa alasan semata sebab Pandemi kala itu muncul di Negeri ini. Awalnya penulis kira penundaan pembelajaran ini gak akan lama, eeeh gak taunya cukup lama, dan dalem praktenya udah hampir setahun lebih loh sejak tulisan ini dibuat dimana sebagian besar daerah di Negeri ini masih belum bisa menyelenggarakan pendidikan secara tatap muka di Sekolah.
Berjalan seiring waktu lahirlah slogan Pembelajaran daring, Pembelajaran Online, lalu ada Pembelajaran Google Classroom, Zoom Meeting, ada juga yang PJJ, BDR dan lain sebagainya. Yang mana slogan di atas dimaksudkan untuk membantu atau bahkan menggantikan sementara metode pembelajaran tatap muka sampai benar-benar situasi kondisi Negeri ini pulih kembali dari Pandemi. Kalo dipikir-pikir kembali metode pembelajaran daring ini bukanlah hal yang baru di dunia Pendidikan, metode ini udah lama dan bahkan udah ada dari sebelum Pandemi terjadi, cuma masalahnya lagi-lagi kita masih belum terbiasa akan pembelajaran daring ini.
Selain itu, ada juga beberapa orang yang menawarkan alternatif-alternatif lain dengan dalih bisa membantu proses pembelajaran selain daring ini, yaitu ada pembelajaran Home Schooling atau model Sekolah rumah, ada juga pembelajaran secara Unschooling yaitu belajar tanpa atau bebas dari Sekolah, dan ada juga yang menawarkan pembelajaran secara Flipped Classroom (ruang kelas yang dibalik), yang di dalemnya anak belajar sendiri dengan irama yang dia pilih secara Online di rumah sedangkan kegiatan di Sekolah justru menjadi pelengkap aja.[1]
Dari sekian banyak jenis atau metode pembelajaran daring atau alternatif, tentunya ada juga persoalan atau kekurangan yang dihadapinya. Jangankan pembelajaran daring, pembelajaran secara tatap muka aja masih ada persoalan
atau masalahnya sendiri. Contohnya: masih banyak sekolah sekarang ini
cenderung menyeragamkan siswa, belum lagi adanya tekanan-tekanan kepada siswa
harus berhasil, ditambha lagi dengan tes-tes terstandarisasi yang dibebankan
atas diri mereka, sehingga kalo kita rasakan dalam jangka panjang bisa
mengakibatkan sekolah udah engga menyenangkan dan menggairahkan lagi, bahkan terasa bosan.
Belum lagi permasalahan metode pembelajaran Deschooling Society atau Rethinking School tadi dianggap engga realistis. Karena menurut kebanyakan orang tua ini bisa mengurangi peran institusi sekolah tradisional masih merupakan kemewahan. Ditambah lagi fenomena orang tua yang bekerja dari pagi hingga malem yang belakangan makin lazim. Ditambah lagi banyak orang tua yang belum memiliki kemampuan atau penguasaan untuk seminimal mungkin yaaa bisalah menjadi guru ataupun hanya fasilitator bagi proses belajar anak-anaknya di rumah.
Sedangkan metode pembelajaran secara Flipped Classroom tadi
juga masih banyak mendapatkan kritik, yaitu adanya ekses peningkatan tajam dalem
hal Screen Time atau penggunaan komputer dan media audio visual yang
belakangan dirasa sudah sangat mengkhawatirkan bahkan bisa menjadi candu jika engga dibatasi. Seharusnya anak tetap diekspos sebanyak mungkin kepada hands
on experience yakni pengalaman konkret bekerja dengan pancaindra dan dengan
manusia, atau bahkan dengan seluruh alam dalam segala kompleksitas kehidupan
realnya. Sebab belajar dengan hands on experience dan belajar dari
lingkungan bisa membantu proses penyerapan pengetahuan dalam pembelajaran anak,
selain itu kedekatan dengan belajar dari alam yang hidup akan dapat memperkuat
spiritualitas anak, baik dalam bentuk hubungan batin dengan alam maupun dengan
Sang Pencipta Alam. Itulah salah satu permasalahan yang terjadi dalam dunia pembelajaran kita. jika ada tambahan soal problem belajar daring lainnya, tulis komen di bawah aja yaa. Terimakasih
Khafaratul Majlis bersama-sama...🙏
[1] Terinspirasi dari buku berjudul “Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia” karya dari Haidar Bagir.
0 komentar: