#035 : Lima Puluh Plus Satu

Judul di atas bisa ditafsirkan banyak makna. Kalau dalam ilmu matematika, bisa lima puluh ditambah satu (50+1). Kalau dalam voting, lima puluh plus satu bisa dimaknai dialah pemenangnya sebab berhasil mendapatkan perolehan suara lebih dari setengah.

Lima Puluh Plus Satu

Btw selamat ya. Menang kan jagoannya? Pasti kemarin sebelum milih sudah pada baca visi misinya kan?  Pasti kemarin milihnya gak ikut-ikutan berdasarkan like or dislike kan? Oh pasti kemarin milihnya berdasarkan kesamaan ide dan gagasan yang dibawanya kan? Oh pasti kemarin milihnya berdasarkan rasionalitas kan, bukan berdasarkan emocional? ya semoga gak ada lagi tuh slogan yang bunyinya “beri ku satu pemuda, maka akan ku guncangkan MK”, salah tuh slogannya, fix gak benar. Padahal kan yang benar bunyinya “beri ku sepuluh pemuda, maka akan ku guncangkan dunia”, nah ini baru benar. Kan kalo begini jadi siap kita untuk menuju 2045 yang cemas, eh lemas, eh emas maksudnya.

Lima puluh plus satu bisa juga dikaitkan dengan pemimpin dan kepemimpinan. Sebenarnya sudah banyak sih literatur yang membahas hal demikian, tapi gak apa-apa kita bahas lagi lewat lirik lagu Gundhul-gundhul Pacul, tau kan lagu itu? Tau dong.

Diawali dengan lirik Gundhul Pacul, artinya bahwa yang namanya pemimpin itu adalah sebuah tugas mengemban amanah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyatnya.

Kemudian lirik selanjutnya Segane, artinya nasi, bisa kita ibaratkan sebagai suatu amanat dari rakyat, yang ini sangatlah mahal serta harus dijaga betul-betul. Lalu Wakul, jelas artinya bakul, atau bisa kita ibaratkan sebagai tempat atau wadah. Juga sebagai perlambang otoritas, legalitas, dan legitimasi pemerintah yang dipersembahkan oleh rakyat kepada pemimpinnya.

Selanjutnya Nyunggi Wakul, artinya sebagai sebuah perlambang bahwa dalam meletakkan amanat itu harus pada posisi tertinggi, bahkan harus lebih tinggi dari kepala kita. Juga menjadi perlambang bahwa amanat itu harus diposisikan pada derajat yang mulia dibandingkan kepentingan diri sendiri, golongan, ataupun partainya, eh.

Terakhir, ada lirik Wakul nggilmpang segane dadi sak latar, maknanya adalah kalau pemimpin sudah diberikan amanah maka janganlah menyia-nyiakannya. Ibarat seseorang yang membawa bekal nasi tapi bawanya sambil lari ugal-ugalan, yowes sudah pasti jadi berantakan dah tuh, bahkan bisa saja jatuh ke tanah, kalau sudah begini, jadinya kan tidak terdistribusi dengan baik kepada mereka yang membutuhkan. Misal loh ya ini, jangan serius-serius.

Lima Puluh Plus Satu Peyangg

Lantas pertanyaannya adalah sudah sejauh mana pemimpin atau kepemimpinan kita hari ini?

Nah, biasanya untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita bisa menggunakan beberapa indikator, seperti menggunakan konsep MeritrokasiKorporatokrasi. Gampangnya, Meritrokasi adalah dimana sebuah kondisi politik yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk menjadi pemimpin berdasarkan kemampuan dan prestasinya, bukan berdasarkan kekayaan atau kelas sosialnya, ingat loh ya.

Secara definisi, Meritrokasi akan bersandar pada hasil atau prestasi kerja dari seseorang pada posisi jabatan sebelumnya. Memang pada level kepemimpinan tertentu, Meritrokasi ini sudah berjalan dengan baik, tetapi pada level kepemimpinan elit keknya masih sebatas omon-omon doang deh. Gak percaya? Lihat saja bagaimana peran pengusaha begitu dominan dalam dunia politik kita. Mereka bisa leluasa duduk di posisi-posisi strategis pengelolaan negara. Ya bukannya apa-apa sih, cuma khawatir saja adanya berbenturan kepentingan satu sama lain.

Belum lagi adanya peran salah satu petinggi partai (misal loh ini) yang memiliki perusahaan media masa, nah yang terjadi justru media masa miliknya itu menjadi media endors bagi penguasa. Begitu juga saat seorang pengusaha yang menjadi politisi, kemudian terafiliasi dengan organisasi masyarakat (waduh makin untung dah tuh), pun pada akhirnya akan dimanfaatkan untuk kepentingan politiknya. Seolah benturan demi benturan antara kepentingan bisnis dan politik sudah biasa dan dianggap sah oleh mereka. Maka yang kita alami hari ini bukanlah Meritrokasi, melainkan Korporatokrasi.

Peyangg

Bagaimana, sudah bisa menjawab pertanyaan soal pemimpin atau kepemimpinan kita hari ini? Oh belum? kalau begitu kita kasih indikator lainnya, bagaimana kalau kita menggunakan konsep Mediokrasi – Excellence untuk mengukurnya.

Secara definisi, Mediokrasi datang dari dua istilah yang digabungkan dan menjadi istilah baru, terdiri dari kata mediocrity yang artinya ‘ala kadarnya’, dan kratein yang artinya ‘kepemerintahan’. Mediokrasi juga bersandar kepada konsep politik kekuasaan, baik formal maupun informal, dimana standar yang diterapkannya yaaa ‘ala kadarnya’ gitu dan itu normal menurut mereka. Konsep Mediokrasi ini juga sudah pasti menggantikan yang namanya konsep Excellence, ingat loh ya.

Nah, jeleknya Mediokrasi adalah segala sesuatu yang berpotensi melebihi standar ‘ala kadarnya’, itu harus tunduk dan jangan sampai menjadi Excellence. Sebab dalam Mediokrasi, orang-orang yang berkompeten juga harus menepi atau ditepikan. Orang yang memiliki konsep Mediokrasi ini cenderung alergi terhadap segala sesuatu yang dianggap ‘terlalu baik’, bahkan mereka memandang segala sesuatu yang unggul sebagai suatu ‘keburukan’.

Putune Eyangg

Dan lucunya lagi kita diperlihatkan oleh para elit yang demikian, malahan mereka justru menghendaki orang-orang yang tidak kompeten untuk berada disekitarnya, supaya apa, iyap betul, supaya posisi dirinya sebagai elit gak tergantikan dong.

Andai saja para elit kita menggunakan konsep Excellence, beh mantab banget yakan, dimana nantinya sistem tata kuasa akan menggunakan kriteria seleksi berbasis keunggulan atau Excellence, kita jadi makin optimis 2045 emas, bukan cemas apalagi lemas.

Tapi nyatanya, fenomena yang terjadi hari ini justru kita dipertontonkan oleh drama-drama yang lucu sih, sekarang bilangnya A eh besok memutuskan yang B. Memang begitu kali ya para elit kita, sangat mungkin berbalik arah setiap detiknya, atau bertahan dengan ke-idealisannya memang berat, penuh dengan godaan. Dan pada ujungnya kita yang mayoritas adalah termasuk kelas menengah ke bawah sangat mungkin akan terdampak dengan apa-apa yang akan mereka putuskan. Seolah-olah para elit seperti acuh dengan realita yang dirasakan oleh masyarakat. Ketika aturan dibuat, seringnya sih pembuat aturan atau kebijakan gak merasakan sendiri dampak dari aturan yang ditetapkannya.

Mereka yang semestinya membawa aspirasi rakyat justru asik dengan kepentingan mereka sendiri. Mereka tidak peduli dengan tanggung jawab yang akan atau sedang mereka emban. Belum lagi beban APBN yang semakin membengkak, plus hutang negara dan pemerintah yang gak jelas peruntukannya, belum lagi daya beli masyarakat yang semakin menurun seolah-olah tidak mereka pedulikan.

Sebaliknya, yang nampak justru mereka sibuk dengan kasus remeh-temeh urusan keluarga dan kepentingan serta kesenangan pribadi pada kemewahan ala kaum borjuis norak. Sedangkan tanggung jawab yang mereka emban malah dijalani dengan sekenanya saja, gak serius. Padahal belum lama ini mereka mengemis-ngemis untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya. Kemana tarekat demokrasi yang mereka iklankan selama ini yang katanya sebagai satu-satunya jalan terbaik menuju keadilan sosial, preet. Kenyataannya masyarakat kita saat ini justru bukan dibawa dalam suasana demokrasi yang baik, tapi Mediokrasi ala Medioker.

Ya meskipun begitu, kita akui juga sih tetap ada loh kebijakan yang berpihak kepada rakyat, tetapi harus diakui bahwa presentasenya masih terlalu kecil jika dibandingkan keberpihakan penguasa terhadap oligarki (yang semakin menggerus sumber daya alam kita ini).

50+1 Peyangg

 Kalau sudah begini timbul pertanyaan lagi, apakah kita masih akan percaya atas kepemimpinan baru ini? Apakah kita masih bisa menggantungkan harapan dan cita-cita besar kesejahteraan yang selama ini ditunggu-tunggu? Apakah benar kita ini adalah negara yang demokratis?

Sebab begitu seringnya kita ditipu daya oleh para penguasa, rakyat juga seperti menikmati jebakan demi jebakan yang dibuat oleh penguasa, satu persatu janji yang pernah terucap, justru muncul dalam bentuk praktik pengkhianatan moral atas sumpah jabatan yang pernah diucapnya.

Lagi dan lagi rakyat kelas menengah ke bawah kecelik berkali-kali, tertipu berkali-kali, diperdaya berkali-kali. Belum lagi soal kepentingan elit juga menjadi satu hal yang selau diutamakan dibandingkan kepentingan rakyat, yang pada akhirnya rakyat memang benar-benar hanya menjadi pelengkap penderita.

Kehadiran rakyat hanya benar-benar dibutuhkan oleh penguasa pada saat hari pemungutan suara saja. Selebihnya, rakyat hanya menjadi boneka dalam serangkaian seremonial penguasa agar dianggap seolah memikirkan rakyatnya. Gak heran sih jika kemudian muncul stigma bahwa yang namanya kebodohan dan ketidakberdayaan rakyat, itu memang dirawat dan dipiara oleh penguasa. Sekali lagi, dipiara dan dirawat loh bukannya dihilangkan atau diberantas. 

Mau sampai kapan seperti ini terus? kita sudah lelah dan capek menyaksikan oknum politisi yang selalu melakukan money politik yang mereka anggap ini hal biasa saja. Disatu sisi, kita juga harus sadar, rakyat pun harus melek bahwa yang namanya money politik itu hanya memuaskan sesaat saja. Dapat uang secara cepat hanya bermodalkan berangkat ke bilik suara. Pun akhirnya nanti konsekuensi dari money politik itu adalah uang rakyat bisa saja jadi target korupsi.

Jangan bermimpi deh adanya perubahan, selama kita sebagai rakyat gak berani menghukum oknum seperti itu. Oleh karenanya sesekali kita harus menghukum atau melawannya, dengan apa? Tentu dengan tidak memilihnya saat berada di bilik suara, sebab dengan cara itulah satu-satunya celah mosi tidak percaya rakyat kepada politisi.

Peyangg.blogspot.com

Terakhir, dan ini juga sebagai harapan semoga ke depannya pemimpin atau kepemimpinan kita bisa diisi oleh orang-orang yang memiliki jiwa Teknokrat. Secara definisi, Teknokrat atau Teknokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan yang diisi oleh orang-orang yang memang pakar secara teknis dan pengetahuan pada bidangnya. Sudah pasti Mereka adalah orang-orang yang memiliki keahlian dan kemampuan dalam bidangnya, sehingga saat mereka diberi kesempatan atau wewenang untuk mengurusinya, maka segala kebijakan yang diambil berdasarkan latar belakang pengetahuan yang dimilikinya.

Dalam sebuah perusahaan misalnya, kalau struktur organisasinya disusun berdasarkan kapasitas dan kapabilitasnya. Dan jika orang-orang yang tepat ditempatkan pada jabatan yang sesuai dengan kapasitasnya, dijamin deh perusahaan tersebut akan berjalan pada track yang baik. Pun demikian ekosistem perkembangan perusahaan juga akan dibawa pada masa depan yang cerah sebab orang-orang yang tepat memegang tanggung jawab sesuai dengan kapasitas dan perannya masing-masing.

Ya semoga gak terjadi lagi tuh kejadian kek kemarin, soal urusan pertanahan malah diurusi oleh seorang jebolan militer (tau kan siapa hehe), ada lagi elit yang sebelumnya mengurusi perhutanan eh justru kini mengurusi perdagangan (aduh), dan masih banyak lagi. Nah ini kan lucu kek gak pas aja gitu. Jangankan Teknokrasi, Meritrokasi aja masih jauuuuh.

Sekali lagi, kita membutuhkan pemimpin yang Teknokrat, bukan pemimpin yang hanya karena popularitas semata. Sebab kita memiliki harapan besar kepada pemimpin tersebut untuk mampu menempatkan para teknokrat diposisi atau jabatan yang sesuai dengan kapabilitasnya. Karena kita berharap Indonesia ini benar-benar diurusi oleh mereka yang memang ahli dalam bidangnya. Sehingga tercapainya sila kelima Pancasila itu tidak menjadi angan-angan lagi, bahwa yang namanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia benar-benar terwujud. Aamiin . . . . .

 

 

Suwun!





Latest
Next Post

post written by:

Ada pepatah bilang begini : tak kenal maka tak sayang. Oleh karenanya marilah kita saling kenal untuk saling sayang, preet!

0 komentar: