belajar dari Sanggar Anak Alam (SALAM) 

    Emang engga ada abisnya kalo kita ngomongin dunia pendidikan, berbagai macam permasalahan, pembahasan, kritik, hingga solusi ada semua didalamnya, apalagi pendidikan negeri ini. Iyap kali ini kita ngomongin tentang sekolah beserta yang ada di dalem-dalemnya (lagi dah).

Banyak gelombang kritik terkait fungsi sekolah yang katanya sekarang ini udah berubah menjadi pasar, yang mana di dalamnya menjadi ajang transaksi jual beli nilai, bahkan bisa menjadi sebuah kuburan? Iyap kuburan, kalo kita kaitkan dengan adanya beberapa kasus dimana anak atau siswa ada yang stres sampe-sampe ada yang bunuh diri loh gara-gara gagal memperoleh nilai bagus. Belom lagi soal orang tua yang engga mampu bayar SPP. Ditambah lagi soal administrasi yang super sibuk buat para guru, sehingga ia lupa akan tugas-tugas pedagogisnya menjadi terbengkalai deh. 

Selain itu, kritik juga dateng untuk sebagian orang atau kelompok yang masih ada aja yang nganggep bahwa mengelola sekolah sama halnya dengan mendirikan perusahaan atau seperti mengelola toko kelontong. Padahal itu salah. Sejatinya mengelola sekolah bukan pekerjaan yang bisa mendatangkan banyak keuntungan, tapi kalo ada orang yang berpikiran bahwa dengan mengelola sekolah bisa mencari keuntungan berarti orang itu lagi salah alamat alias tersesat. Kan udah sering banget dibilangin dan diingatin berkali-kali, bahwa hakikat pendidikan itu bukan kek suatu komoditas barang dagangan alias bukan jenis usaha yang bisa dijual belikan dan diuntungkan.

Belom lagi soal mengiklankan sekolah dengan kata-kata: “Sekolah siap mencetak lulusan yang siap kerja dengan dididik secara ketat dan disiplin”, atau “Kami siap mencetak siswa berprestasi dan Berakhlakul Karimah”, dan lain-lain. Sampai disini rasa-rasanya kok kalo dicermati sambil berpikir, keknya ada yang salah dari maksud dua iklan atau slogan di atas? Iyap, jawabannya adalah sekolah gak sama seperti mencetak batu bata. Sebab anak bukanlah benda mati yang dapat seenaknya aja dicetak atau dibentuk sesuai apa yang kita mau. Anak atau siswa bukanlah alat yang menjadi siap pakai sehingga perlu dicekokin banyak hal atau materi yang sebenernya jauh dari kebutuhan aslinya. Padahal anak itu ya mahluk hidup loh sama kek kita yang secara kodrati akan selalu tumbuh dan berkembang. Perlu dicatat juga nih, yang mereka butuhin adalah lahan yang subur dan perhatian yang sungguh-sungguh supaya bisa tumbuh dan berkembang dong pastinya.

Kritik yang terakhir dan harus diingat bersama yaitu terkait sekolah bukan kompetisi unggul-unggulan. Tapi faktanya hari ini masih ada loh yang beranggapan bahwa prestasi merupakan salah satu bukti nyata akan berhasilnya sekolah mendidik para siswanya. Selain itu, masih ada juga yang berkeyakinan bahwa prestasi merupakan syarat mutlak yang kudu dicapai supaya sekolah dapat dikenal oleh masyarakat. 

Padahal kalo kita buka KBBI, arti kata kompetisi adalah persaingan, merupakan aktivitas yang dipacu untuk mencapai tujuan dengan cara mengalahkan orang lain atau kelompok. Lebih khawatir lagi akan timbul dogma kawan dianggap lawan. Padahal sadar atau engga, udah seharusnya sekolah menjadi tempat dimana anak dapat memahami potensinya, lalu mengerti akan perkembangan pengetahuan dan kemampuannya, serta mengerti juga arah kecendrungannya.

Tapi terlepas kritik itu semua, kita juga harus yakin bahwa engga semua wajah pendidikan atau sekolah semuram itu, ada juga kok yang bagusnya, bahkan beberapa tahun belakangan ini udah ada inisiatif untuk mendirikan bahkan udah berhasil menjalankan sekolah-sekolah alternatif yang lebih manusiawi di berbagai pelosok negeri, terutama di kota-kota besar. 

Secara garis besar pastinya gagasan muncul atau mendirikan sekolah alternatif itu berakar dari rasa kekecewaan yang mendalam terhadap sekolah-sekolah mainstream?

Nah, salah satu tren alias bumingnya sekolah alternatif itu adalah sekolah alam. Kalo di sekitaran Jakarta sih yang cukup mengemuka adalah Sekolah Alam Ciganjur[1] yang didirikan oleh Kak Lendo Novo (koreksi kalo salah ya). Nah sejak itu pula makin banyak dah tuh tren dan menjamurnya sekolah alam dimana-mana bak cendawan di kala musim hujan tiba. Padahal jauh sebelum nge-trennya dan bumingnya sekolah alam, udah sejak lama loh SALAM (Sanggar Anak Alam) berdiri yang menjadi bagian dari sekolah alternatif itu sendiri, cuma kala itu belom banyak orang yang tau dan dengar tentang SALAM. Padahal sekali lagi, SALAM berdiri udah cukup lama.

Rasa-rasanya kok kebanyakan orang masih ada yang salah paham tentang arti SALAM, yang umumnya dikategorikan sebagai sekolah alam, ya walaupun SALAM lahir sebelum adanya buming sekolah alam. Perlu digaris bawahi nih bahwa kata SALAM lebih kepada ‘Anak Alam’, bukan sekolah alam itu sendiri. Artinya, ‘Anak Alam’ itu dimaksudkan bahwa setiap anak itu adalah orisinal dan otentik dilahirkan oleh alam, sehingga sekolah engga boleh merusak orisinalitas dan otentisitas setiap anak. Bahkan sebaliknya, sekolah justru harus membantu setiap anak menumbuhkembangkan orisinalitas dan otentisitas tersebut.

Kebanyakan orang juga masih salah paham alias keliru mengenai sekolah alam itu adalah sekolah yang berorientasi terutama pada metode belajar yang lebih banyak diselenggarakan di dalem ruangan, lalu tiba-tiba diganti dengan digelar di ruang terbuka. Padahal seharusnya, sekolah alam itu adalah sekolah yang merancang model pembelajarannya disesuaikan dengan kecendrungan unik anak serta disesuaikan lagi dengan komunitas masing-masing (daerah) yang tentunya berbeda dong satu sama lainnya.

Dari sini sekiranya bisa timbul pertanyaan sebagai orang yang awam. Begini pertanyaannnya: kira-kira seberapa alternatifkah pendidikan yang ditawarkan pada sekolah alternatif tersebut? terus apa sih bedanya sekolah umum dengan sekolah alternatif semisal SALAM? terus seberapa efektifkah pembelajarannya bagi anak-anak? 

Paling engga ada empat karakter sekolah alternatif yang membedakannya dengan sekolah umum[2]. Aspek pertama tentu dari segi filosofi yang menjadi dasar pedagogisnya. kalo sekolah umum dominan proses pembelajarannya itu lebih kepada “penyembahan” pencapaian akademik. Nah, kalo sekolah alternatif lebih kepada proses pembelajaran yang sesungguhnya, demi membangun manusia yang utuh atau lebih humanistik. Gampangnya begini, mereka percaya pendidikan mesti yang lebih terpadu dan manusiawi. Bukan hanya menyiapkan para siswa untuk siap memasuki dunia kerja supaya memperoleh pekerjaan yang bergelimang duit aja.

Kedua, berorientasi kepada anak. Percayalah, sekolah semacam ini adalah sekolah yang berusaha membangun proses pendidikannya dengan cara menghargai anak sebagai individu yang sedang tumbuh dalam lingkup alaminya. Bukan hanya sebagai individu yang diperlakukan sesuai dengan perkembangan fisik dan psikologisnya. Ditambah lagi, kebanyakan sekolah umum masih dominan akan metode “sekolah dengarnya  (ya gak sih). 

Ciri ketiga, biasanya sekolah alternatif itu pendekatannya yang dipake lebih kepada pendekatan holistik dalam proses belajarnya. Mapel kek MTK, IPA, IPS, Geografi, dan lain-lain engga diajarkan dengan cara seperti di sekolah umum alias beda metodenya. 

Contoh: Minggu ini temanya tentang ikan. Nah, maka semua aktivitas pembelajaran selama satu minggu ke depan berkaitan dengan ikan. Tugas yang diberikan bisa kita ajak buat ngelakuin sebuah pengamatan lapangan atau observasi tentang ikan apa ya yang sekiranya mereka sering liat di lingkungan sekitarnya. Terus dari situ juga bisa mereka ajarkan biologi atau geografi atau MTK atau karya seni dengan menggambar ikan yang mereka sering liat dan temukan tadi. Nah, beragam macam pendekatan atau metode bisa dipilih sekaligus diterapkan dengan baik oleh para guru serta siswa dengan cara pedekatan holistik semacam itu. Pokoknya semuanya bekerja sama dengan sama-sama mengembangkan dan mengevaluasi proses demikian.

Ciri terakhir, adalah terjalinnya hubungan yang harmonis dan erat antara guru-murid-orang tua. Yang menarik disini adalah bagaimana peran orang tua yang diberikan tanggung jawab, mulai dari keterlibatan mereka dalam proses belajar, lalu mengelola, dan merawat sekolah serta lingkungannya. Bahkan nih, ada jadwal khusus loh dimana orang tua dipersilahkan atau diberikan kesempatan untuk mengajar para siswa sesuai kemampuannya. 

Ada yang mengajari masak, fotografi, kerajinan tangan, melukis, sablon, menjahit, bahasa inggris, membatik, dan masih banyak lagi. Sehingga dengan demikian guru tidak berlaku lagi sebagai “sang segala tau” yang memaksakan isi kepalanya ke dalem “wadah-wadah kosong”.

Dari penjelasan di atas, rasa-rasanya kita semua perlu yang namanya belajar dari SALAM, sebab dalam prakteknya, SALAM udah terlebih dulu dan udah sejak lama menerapkan atau mengimplementasikan keempat karakter di atas, bahkan jauh sebelum buming dan nge-trennya sekolah alam saat ini. 

Kita bisa belajar dari SALAM, bagaimana proses pembelajaran yang dilakukan bisa sambil bermain, eh tapi bermainnya yang terkonsep, terencana, terukur, dan terevaluasi dengan baik ya. 

Kita bisa belajar dari SALAM, bagaimana dengan tidak memperlakukan anak-anak sebagai miniatur orang dewasa, justru SALAM menjalankan kebebasan berekspresi anak, dan yang lebih penting nih memberikan penghargaan setinggi-tingginya pada dunia imajinasi anak.

Kita bisa belajar dari SALAM, bagaimana peran fasilitator begitu kreatif dan sangat imajinatif dalam menjalankan proses pembelajarannya serta bagaimana menghadapi para siswanya. 

Kita bisa belajar dari SALAM, bagaimana mengkomunikasikan dan mempereratkan komposisi antar guru-murid-orang tua supaya saling dukung-mendukung dan harmonis. 

Kita bisa belajar dari SALAM, bagaimana keberaniannya membuat desain kurikulum atau silabus menjadi unik serta khas yang sangat sangat disesuaikan akan kebutuhan para siswanya tanpa menyimpang dari kurikulum yang ada. 

Kita bisa belajar dari SALAM yang berbicara lewat bukti nyata lewat programnya yang bisa diakses masyarakat luas dan ada manfaatnya dengan tindakan yang konkrit.

Sebagai penutup ada hal unik dan baru penulis sadari, engga tau ini penting atau gak, tapi menurut penulis ini penting. Yaitu soal penyebutan dari fasilitator kepada para siswanya dengan menyebut mereka pake istilah “teman-teman”. Kenapa engga “anak-anak”, atau “para siswa siswi”, kek di sekolah pada umumya gituh. 

Nah, soal ini penulis lebih setuju dengan pemanggilan “teman-teman”. Sebab menurut penulis, dengan kita (fasilitator) memanggil pake kata “teman-teman” itu merasa lebih dekat aja dengan mereka, dan adanya ikatan batin yang dirasa mesra sebagai yaaa seorang teman. Teman yang setiap hari bertemu, bercerita, bermain, belajar, pergi kesana kemari bersama-sama. Sedangkan kalo kita memanggil mereka dengan istilah lain kek “anak-anak” atau “siswa siswi” kesannya kek ada jarak diantara kita, kek ada jarak yang jauh, kek kaku aja. Dan kesannya harus selalu patuh, taat, dan apabila melawan-melanggar ada hukuman yang menantinya. Tapi, engga apa-apa lah gak diambil pusing juga. Dah lah kalo ada tambahan atau apapun itu, lanjut di kolom komentar di bawah ya. Suwun.

 

 

Khafaratul Majlis bersama-sama...🙏

 

 

 


[1] Sumbernya dari bukunya Pakde Toto Rahardjo, “Sekolah Biasa Saja”, (Yogyakarta: Progress, 2014), h.91

[2] Sumbernya masih dari buku yang sama, yaitu bukunya Pakde Toto Rahardjo, “Sekolah Biasa Saja”

 

Previous Post
Next Post

post written by:

Ada pepatah bilang begini : tak kenal maka tak sayang. Oleh karenanya marilah kita saling kenal untuk saling sayang, preet!

0 komentar: