Sebab-sebab Turunnya Surat Al-Maun :
Surat Al-Maun termasuk ke dalam
surat makkiyah, di dalam isi pokoknya menerangkan tentang beberapa sifat, watak
atau karakter manusia yang bisa dianggap sebagai seseorang yang mendustakan
agama, yakni menghardik anak yatim dan memenelantarkan mereka dalam kehidupan,
kemudian tidak mau bersedekah dan tidak menganjurkan orang lain menyantuni
fakir miskin.
Selain itu,
surat ini menurut mayoritas ulama adalah surat Makiyyah. Sebagian menyatakan
Madaniyah, dan ada lagi yang berpendapat bahwa ayat pertama sampai dengan ayat
ketiga turun di Mekkah dan sisanya di Madinah. Ini dengan alasan bahwa yang
dikecam oleh ayat keempat dan seterusnya adalah orang-orang munafik yang baru
dikenal keberadaannya setelah hijrah Nabi Muhammad saw. ke Madinah.
Nama surat ini
cukup banyak. Ada yang menamainya surat ad-Diin, surat at-Takdziib,
surat al-Yatim, surat Ara’aita, surat Ara’aitaalladzii,
dan yang paling populer adalah surat Al-Maun.
Tema utamanya
adalah kecaman tehadap mereka yang mengingkari keniscayaan Kiamat dan yang
tidak memperhatinkan substansi shalatnya. Menurut al-Biqa’i tujuan utamanya
adalah peringatan bahwa pengingkaran terhadap hari kebangkitan merupakan sumber
dari segala kejahatan, karena dia mendorong yang bersangkutan untuk melakukan
aneka akhlak yang buruk serta melecehkan aneka kebajikan.
Dari beberapa
riwayat tentang sebab nuzul (latar belakang pewahyuan) surat ini menyebutkan
bahwa ada pemuka masyarakat yang diperselisihkan apakah Abu Sufyan bin Harb,
atau Abu Jahl, atau al-‘Ash bin Wa’il as-Sahmi, atau al-Walid bin al-Mughirah
al-Makhzumi, atau Haybarah bin Abi Wahb al-Makhzumi, atau Abu Lahab yang
bersikap kasar terhadap anak yatim yang meminta-minta. Sebagian riwayat
menyebut bahwa pemuka itu (sering disebut sebagai Abu Sufyan) setiap minggunya
menyembelih seekor unta untuk jamuan pesta. Suatu ketika, seorang anak yatim
datang meminta sedikit daging tetapi ia tidak diberi bahkan dihardik dan diusir
(dengan tongkatnya).
Kemudian dalam
suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini (Q.S. Al-Maun: 4-7) turun berkenaan
dengan kaum munafikin yang suka mempertontonkan shalat (riya) kepada kaum
mukminin dan meninggalkannya apabila tidak ada yang melihatnya serta menolak
memberikan bantuan ataupun pinjaman. Ayat ini turun sebagai peringatan kepada
orang-orang yang berbuat seperti itu. (diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dari
Tharif bin Abi Thalhah yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas).
Apabila dipahami
lebih dalam tentang tujuh ayat dalam surat Al-Maun dan juga semua
langkah-langkahnya tersebut, maka akan menyinggung perilaku manusia yang sangat
tercela. Diantara sifat tercela itu ialah melakukan ibadah hanya karena ingin
pamer, bukan mencari ridha Allah swt., tidak bersedia membayar zakat, tidak mau
bersedekah kepada fakir miskin, dan tidak memiliki belas kasihan terhadap yatim
piatu yang menderita. Orang-orang yang memiliki sifat dan watak sebagaimana
dikemukakan di atas tidak lain hanyalah akan mendapat ancaman dan siksa neraka
yang sangat pedih. Mereka termasuk orang yang mendustakaan agama Islam.
Peristiwa di
atas telah melatarbelakangi turunnya ayat-ayat yang terkandung dalam surat
Al-Maun tersebut, yang mana sudah pasti di dalamnya berisi tentang peringatan
bagi perilaku orang-orang munafik.
Penafsiran K.H. Ahmad Dahlan tentang Surat Al-Maun :
Yang artinya :
(1) Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?, (2) Maka itulah orang
yang menghardik anak yatim, (3) Dan tidak menganjurkan memberi makan orang
miskin, (4) Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang lalai dari shalatnya, (5) (Yaitu)
orang-orang yang lalai dari shalatnya, (6) Orang-orang yang berbuat riya, (7)
Dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (QS. Al-Maun: 1-7).
K.H. Ahmad Dahlan menafsirkan surat ini kepada muridnya bahwasannya
sudah jelas dalam ayat ini bahwa orang yang sudah shalat pun belum tentu diakui
kalau telah beriman dan menjalankan agama, bahkan dianggap sebagai orang yang
mendustakan agama jika masih mencintai kebiasaan cinta akan harta benda dan
tidak memperhatikan nasib anak yatim serta tidak menganjurkan memberikan
makanan kepada orang miskin.
Ath-Thabari dalam kitab Jami’ul Bayan menyebutkan suatu
khabar dari Ibn ‘Abbas tentang ayat “apakah kamu tahu orang yang mendustakan
din?” bahwa maknanya adalah orang yang mendustakan adanya penghakiman/pengadilan
oleh Allah ‘Azza wa jalla. Kemudian Ath-Thabari juga menyebutkan suatu atsar
dari Ibn Jurayj bahwa maksudnya adalah (mendustakan) hisab atau perhitungan
amal. Al-Mawardi menyebut pendapat ini merupakan pandangan ‘Ikrimah dan
Mujahid. Dan Al-Mawardi juga menyebut satu lagi pendapat, yakni bahwa din
disini maksudnya adalah ats-tsawab wal-‘iqab (pahala dan dosa).
Selanjutnya menyinggung tentang makna lalai dari shalat, bisa
diibaratkan seseorang yang termasuk golongan orang yang mendustakan agama, cara
shalatnya pun hanya sekedar menggerakan bibir saja, lalu membaca serta
menggerakan anggota badan, sedangkan hatinya memilih atau memikirkan kehidupan
dunia dan mencintai harta benda. Shalat yang seperti itu belum akan diterima,
bahkan akan disiksa di neraka Wail
pada hari kemudian, karena shalat tersebut hanya untuk riya (diperlihatkan
kepada orang lain).
Apabila seseorang masih menghambakan diri kepada hawa nafsu, yaitu
mencintai harta benda yang berlebih-lebihan, tidak suka memperhatikan nasib
anak yatim maka akan masih tetap dikatakan sebagai orang yang mendustakan
agama, yang akan dimasukan kedalam neraka
Wail walaupun telah mengaku sebagai orang-orang yang sudah
menjalankan shalat.
Tentu pandangan K.H. Ahmad Dahlan terhadap ayat-ayat surat Al-Maun
tersebut dan beliaupun pernah menerangkan cara orang mempelajari Al-Qur’an
yaitu dengan cara satu, dua, dan tiga ayat dibaca dengan tartil dan ditadabburi
atau dipikirkan: bagaimana artinya?, Bagaimana tafsir keterangannya?, bagaimana
maksudnya?, apakah ini larangan dan apakah kamu sudah meninggalkan larangan
ini?, dan apakah ini perintah yang wajib dikerjakan dan apakah kita sudah
menjalankannya?, jika belum dapat menjalankannya dengan sungguh-sungguh maka
tidak perlu membaca ayat-ayat yang lainnya.
Dalam memberikan pengajaran surat Al-Maun membekas di hati para
santrinya, K.H. Ahmad Dahlan memerintahkan kepada semua santrinya supaya dalam
pengajian berikutnya masing-masing santri diwajibkan membawa satu orang miskin,
satu anak yatim, lalu membawa makanan beserta lauk pauknya, kemudian membawa
pakaian yang masih layak pakai beserta sabun untuk mandi.
Ketika waktu pengajian berikutnya tiba para santri tidak disuruh
oleh K.H. Ahmad Dahlan untuk langsung membaca Al-Qur’an, tetapi menyuruhnya
untuk memandikan anak yatim tersebut, mempersilahkan mandi orang-orang miskin
yang sudah dewasa, lalu sesudah mandi diberikan pakaian yang baik dan bersih,
kemudian mereka bersama-sama makan dengan para anak yatim dan orang-orang
miskin itu. Sesudah itu sebelum mereka pulang (anak yatim dan orang-orang
miskin) diberi bungkusan masing-masing.
Inilah salah satu unsur yang menggoncang hati K.H. Ahmad Dahlan
untuk merubah kemauan, benarkah sebagai orang Islam yang berani untuk
menyerahkan harta dan jiwa raganya di bawah hukum Allah swt.?.
Dengan demikian K.H. Ahmad Dahlan lalu berpikir bagaimana caranya
merealisasikan surat Al-maun tersebut.
Ini juga menjadi salah satu pengajaran yang amat berbekas. Tidak
saja pada murid-murid K.H. Ahmad Dahlan, namun juga pada orang-orang yang
mengambil inspirasi darinya, salah satunya itu Kiyai Syuja yang terinspirasi
dari surat Al-Maun tersebut untuk terus bersemangat mewujudkan beragam
cita-cita untuk kemajuan umat Islam. Dalam biografinya tentang Kiyai Dahlan,
Kiyai Syuja pernah bercerita.
Khafaratul Majlis
bersama-sama... 🙏
M. Quraisy
Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), vol. 15,
h. 543
Izza Rohman
Nahrowi, Op. Cit., h. 38
Shaleh, et.al.,
Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al Qur’an,(Bandung:
CV Penerbit Diponegoro, 2000), h. 677 Lihat Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Alquran. Alquran dan Terjemahnya
Al-Kaffah. (Jakarta: Pustaka Al-Kaffah, 1435 H), h. 602
Izza Rohman
Nahrowi, Op. Cit., h. 21
K.R.H. Hadjid, Pelajaran
K.A. Dahlan 7 Falsafah Ajaran & 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an,
(Yogyakarta: LPI PPM, 2008), Cet. 3
K.R.H. Hadjid, Ajaran
K.H. A. Dahlan dengan 17 Kelompok Ayat-Ayat Al-Qur’an, (Yogyakarta:
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah, 1996), h. 21
0 komentar: