Nilai-nilai ajaran Al-Maun 

Sebab-sebab Turunnya Surat Al-Maun : 

Surat Al-Maun termasuk ke dalam surat makkiyah, di dalam isi pokoknya menerangkan tentang beberapa sifat, watak atau karakter manusia yang bisa dianggap sebagai seseorang yang mendustakan agama, yakni menghardik anak yatim dan memenelantarkan mereka dalam kehidupan, kemudian tidak mau bersedekah dan tidak menganjurkan orang lain menyantuni fakir miskin.

Selain itu, surat ini menurut mayoritas ulama adalah surat Makiyyah. Sebagian menyatakan Madaniyah, dan ada lagi yang berpendapat bahwa ayat pertama sampai dengan ayat ketiga turun di Mekkah dan sisanya di Madinah. Ini dengan alasan bahwa yang dikecam oleh ayat keempat dan seterusnya adalah orang-orang munafik yang baru dikenal keberadaannya setelah hijrah Nabi Muhammad saw. ke Madinah.[1]

Nama surat ini cukup banyak. Ada yang menamainya surat ad-Diin, surat at-Takdziib, surat al-Yatim, surat Ara’aita, surat Ara’aitaalladzii, dan yang paling populer adalah surat Al-Maun.

Tema utamanya adalah kecaman tehadap mereka yang mengingkari keniscayaan Kiamat dan yang tidak memperhatinkan substansi shalatnya. Menurut al-Biqa’i tujuan utamanya adalah peringatan bahwa pengingkaran terhadap hari kebangkitan merupakan sumber dari segala kejahatan, karena dia mendorong yang bersangkutan untuk melakukan aneka akhlak yang buruk serta melecehkan aneka kebajikan.

Dari beberapa riwayat tentang sebab nuzul (latar belakang pewahyuan) surat ini menyebutkan bahwa ada pemuka masyarakat yang diperselisihkan apakah Abu Sufyan bin Harb, atau Abu Jahl, atau al-‘Ash bin Wa’il as-Sahmi, atau al-Walid bin al-Mughirah al-Makhzumi, atau Haybarah bin Abi Wahb al-Makhzumi, atau Abu Lahab yang bersikap kasar terhadap anak yatim yang meminta-minta. Sebagian riwayat menyebut bahwa pemuka itu (sering disebut sebagai Abu Sufyan) setiap minggunya menyembelih seekor unta untuk jamuan pesta. Suatu ketika, seorang anak yatim datang meminta sedikit daging tetapi ia tidak diberi bahkan dihardik dan diusir (dengan tongkatnya).[2]

Kemudian dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini (Q.S. Al-Maun: 4-7) turun berkenaan dengan kaum munafikin yang suka mempertontonkan shalat (riya) kepada kaum mukminin dan meninggalkannya apabila tidak ada yang melihatnya serta menolak memberikan bantuan ataupun pinjaman. Ayat ini turun sebagai peringatan kepada orang-orang yang berbuat seperti itu. (diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dari Tharif bin Abi Thalhah yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas).[3]

Apabila dipahami lebih dalam tentang tujuh ayat dalam surat Al-Maun dan juga semua langkah-langkahnya tersebut, maka akan menyinggung perilaku manusia yang sangat tercela. Diantara sifat tercela itu ialah melakukan ibadah hanya karena ingin pamer, bukan mencari ridha Allah swt., tidak bersedia membayar zakat, tidak mau bersedekah kepada fakir miskin, dan tidak memiliki belas kasihan terhadap yatim piatu yang menderita. Orang-orang yang memiliki sifat dan watak sebagaimana dikemukakan di atas tidak lain hanyalah akan mendapat ancaman dan siksa neraka yang sangat pedih. Mereka termasuk orang yang mendustakaan agama Islam.

Peristiwa di atas telah melatarbelakangi turunnya ayat-ayat yang terkandung dalam surat Al-Maun tersebut, yang mana sudah pasti di dalamnya berisi tentang peringatan bagi perilaku orang-orang munafik.  

 

 

Ajaran-ajaran K.H. Ahmad Dahlan (Tafsir Surat Al-Maun)

Penafsiran K.H. Ahmad Dahlan tentang Surat Al-Maun :

Yang artinya :

(1) Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?, (2) Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, (3) Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, (4) Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang lalai dari shalatnya, (5) (Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, (6) Orang-orang yang berbuat riya, (7) Dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (QS. Al-Maun: 1-7).[4] 

K.H. Ahmad Dahlan menafsirkan surat ini kepada muridnya bahwasannya sudah jelas dalam ayat ini bahwa orang yang sudah shalat pun belum tentu diakui kalau telah beriman dan menjalankan agama, bahkan dianggap sebagai orang yang mendustakan agama jika masih mencintai kebiasaan cinta akan harta benda dan tidak memperhatikan nasib anak yatim serta tidak menganjurkan memberikan makanan kepada orang miskin.
Ath-Thabari dalam kitab Jami’ul Bayan menyebutkan suatu khabar dari Ibn ‘Abbas tentang ayat “apakah kamu tahu orang yang mendustakan din?” bahwa maknanya adalah orang yang mendustakan adanya penghakiman/pengadilan oleh Allah ‘Azza wa jalla. Kemudian Ath-Thabari juga menyebutkan suatu atsar dari Ibn Jurayj bahwa maksudnya adalah (mendustakan) hisab atau perhitungan amal. Al-Mawardi menyebut pendapat ini merupakan pandangan ‘Ikrimah dan Mujahid. Dan Al-Mawardi juga menyebut satu lagi pendapat, yakni bahwa din disini maksudnya adalah ats-tsawab wal-‘iqab (pahala dan dosa).[5]
Selanjutnya menyinggung tentang makna lalai dari shalat, bisa diibaratkan seseorang yang termasuk golongan orang yang mendustakan agama, cara shalatnya pun hanya sekedar menggerakan bibir saja, lalu membaca serta menggerakan anggota badan, sedangkan hatinya memilih atau memikirkan kehidupan dunia dan mencintai harta benda. Shalat yang seperti itu belum akan diterima, bahkan akan disiksa di neraka Wail  pada hari kemudian, karena shalat tersebut hanya untuk riya (diperlihatkan kepada orang lain).
Apabila seseorang masih menghambakan diri kepada hawa nafsu, yaitu mencintai harta benda yang berlebih-lebihan, tidak suka memperhatikan nasib anak yatim maka akan masih tetap dikatakan sebagai orang yang mendustakan agama, yang akan dimasukan kedalam neraka  Wail walaupun telah mengaku sebagai orang-orang yang sudah menjalankan shalat.[6]
Tentu pandangan K.H. Ahmad Dahlan terhadap ayat-ayat surat Al-Maun tersebut dan beliaupun pernah menerangkan cara orang mempelajari Al-Qur’an yaitu dengan cara satu, dua, dan tiga ayat dibaca dengan tartil dan ditadabburi atau dipikirkan: bagaimana artinya?, Bagaimana tafsir keterangannya?, bagaimana maksudnya?, apakah ini larangan dan apakah kamu sudah meninggalkan larangan ini?, dan apakah ini perintah yang wajib dikerjakan dan apakah kita sudah menjalankannya?, jika belum dapat menjalankannya dengan sungguh-sungguh maka tidak perlu membaca ayat-ayat yang lainnya.
 
Al-Maun
Dalam memberikan pengajaran surat Al-Maun membekas di hati para santrinya, K.H. Ahmad Dahlan memerintahkan kepada semua santrinya supaya dalam pengajian berikutnya masing-masing santri diwajibkan membawa satu orang miskin, satu anak yatim, lalu membawa makanan beserta lauk pauknya, kemudian membawa pakaian yang masih layak pakai beserta sabun untuk mandi.
Ketika waktu pengajian berikutnya tiba para santri tidak disuruh oleh K.H. Ahmad Dahlan untuk langsung membaca Al-Qur’an, tetapi menyuruhnya untuk memandikan anak yatim tersebut, mempersilahkan mandi orang-orang miskin yang sudah dewasa, lalu sesudah mandi diberikan pakaian yang baik dan bersih, kemudian mereka bersama-sama makan dengan para anak yatim dan orang-orang miskin itu. Sesudah itu sebelum mereka pulang (anak yatim dan orang-orang miskin) diberi bungkusan masing-masing.
Inilah salah satu unsur yang menggoncang hati K.H. Ahmad Dahlan untuk merubah kemauan, benarkah sebagai orang Islam yang berani untuk menyerahkan harta dan jiwa raganya di bawah hukum Allah swt.?.[7] Dengan demikian K.H. Ahmad Dahlan lalu berpikir bagaimana caranya merealisasikan surat Al-maun tersebut.
Ini juga menjadi salah satu pengajaran yang amat berbekas. Tidak saja pada murid-murid K.H. Ahmad Dahlan, namun juga pada orang-orang yang mengambil inspirasi darinya, salah satunya itu Kiyai Syuja yang terinspirasi dari surat Al-Maun tersebut untuk terus bersemangat mewujudkan beragam cita-cita untuk kemajuan umat Islam. Dalam biografinya tentang Kiyai Dahlan, Kiyai Syuja pernah bercerita.
 


Khafaratul Majlis bersama-sama... 🙏

 

 


[1] M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), vol. 15, h. 543 
[2] Izza Rohman Nahrowi, Op. Cit., h. 38  
[3] Shaleh, et.al., Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al Qur’an,(Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2000), h. 677 
[4] Lihat Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Alquran. Alquran dan Terjemahnya Al-Kaffah. (Jakarta: Pustaka Al-Kaffah, 1435 H), h. 602   
[5] Izza Rohman Nahrowi, Op. Cit., h. 21 
[6] K.R.H. Hadjid, Pelajaran K.A. Dahlan 7 Falsafah Ajaran & 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an, (Yogyakarta: LPI PPM, 2008), Cet. 3 
[7] K.R.H. Hadjid, Ajaran K.H. A. Dahlan dengan 17 Kelompok Ayat-Ayat Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah, 1996), h. 21
Previous Post
Next Post

post written by:

Ada pepatah bilang begini : tak kenal maka tak sayang. Oleh karenanya marilah kita saling kenal untuk saling sayang, preet!

0 komentar: