Udah banyak buku atau teori yang menjelaskan tentang pendidikan, bahkan disetiap pelatihan pendidikan, seminar, workshop atau semacam webinar sekalipun udah sering dibahas apa itu pendidikan dan sebagainya. Dah lah engga usah panjang lebar lagi, disini akan dibahas sedikit aja kok.
Meminjem teori dari John Locke yang terkenal yaitu teori tabula
rasanya, begini katanya: pendidikan pada dasarnya bukanlah penanaman atau
pengisian, melainkan sebuah aktualisasi potensi peserta didik. Meminjem lagi
teori dari Plutarch, masih soal pendidikan, begini katanya: pikiran
bukanlah seperti bejana yang harus diisi, tapi api untuk dinyalakan. Dan di zaman modern kek sekarang ini Paulo
Freire juga ikut mengkritik soal pendidikan, katanya begini: ia engga sepakat apa yang disebutnya sebagai banking concept of
education alias didalamnya peserta didik dianggap kek “celengan” yang harus
diisi oleh guru.
Gak ketinggalan juga apa yang penulis udah lihat dan rasakan langsung di
lapangan, emang sebagian besar masih menggunakan cara-cara seperti berikut: “loh yang
terpentingkan semua materi atau bahan ajar selesai kita tanamkan alias kita
udah jejelkan ke peserta didik”. Terkait cara seperti itu pun engga menyalahkan, dan itu silahkan aja. Tapi tentu cara di atas banyak sekali kekurangannya, contohnya: sering kali ada salah satu guru yang dengan sengaja memberikan materi bahan ajar yang terlalu banyak ditelen dan dimasukkan ke dalam otak peserta didik, belum lagi pernah ditemukannya kasus materi
untuk pendidikan tinggi eh malah udah diajarkan ditingkat dasar atau menengah. Dengan berbagai persoalan di atas tadi, ini bisa menjadi kemubaziran waktu dan potensi bagi peserta didik serta guru, yang mana seharusnya bisa digunakan untuk kegiatan
yang relevan lainnya eh malah begitu. Ahsudahlah.
Kemudian jika diamati dan diperhatikan,
masih banyak pendidikan yang diajarkan saat ini lebih dominan kepada kompetensi
akademis aja. Engga menyalahkan sebab kompetensi akademis juga menjadi satu
bagian kecil dari konsep life skills nantinya, cuma gimanah ya kalo miring sebelah begitu. Dan dalam prakteknya disadari atau engga udah terlanjur diajarkan juga di dalam pendidikan kita.
Dalam pendidikan emang ada istilah life
skills alias keterampilan-keterampilan hidup. Nah, sebagian masyarakat masih
salah kaprah nih mengenai life skills ini, termasuk di dunia pendidikan. Masih
banyak yang mengartikan life skills secara sempit, yaitu: semata-mata keterampilan vokasional aja yang hanya diperlukan untuk dunia kerja aja nantinya. Padahal
pengertian life skills masih luas dan bisa kita artikan begini: life
skills pada dasarnya mencakup semua kemampuan peserta didik untuk kelak
nantinya dapat bertahan dan berkembang dalam masyarakat yang di dalemnya ia
hidup. Atau mudahnya begini: life skills itu semua kompetensi dan semua
keterampilan yang dibutuhkan oleh setiap orang agar bisa hidup bahagia dunia
dan akhirat.
Ada juga pengertian life skills
menurut UNESCO dengan tujuan pendidikan, begini katanya: cakap berpikir
(learning how think), cakap berbuat atau bertindak (learning to do), lalu cakap
Intrapersonal untuk hidup (learning to be), cakap belajar (learning
how to learn), dan cakap intrapersonal untuk hidup bersama (learning to live
together).[1] Wokeh
balik lagi ke pembahasan mengenai masih dominannya pengajaran life skills di
sekolah-sekolah yang hanya fokus kepada kompetensi akademis aja. Padahal kalau
kita rinci, sedikitnya ada lima (5) loh kompetensi didalam konsep life
skiils ini yang harus sama-sama didominankan, jadi tidak cuma satu kompetensi aja yaa. Berikut rinciannya:
Pertama, ada yang namanya kompetensi personal.
Penting banget nih mengajarkan kompetensi ini ke peserta didik untuk memiliki keterampilan persoanal
ini, sebab kewenangan atau kemampuannya bisa untuk menentukan dirinya
(pribadi/perseorangan), ini haruslah dilakukan secara berulang-ulang sampai ia
membekas di dalam hati dan pikiran. Biasanya kompetensi personal ini identik
dengan pengembangan kepribadian termasuk akhlak, kegigihan, kesabaran, percaya
diri, dan sebagainya. Atau dalam istilah sekarang dikenal dengan kecerdasan
moral dan kecerdasan intrapersonal sebagai salah satu aspek kecerdasan emosional
(EQ). Atau dalam istilah kurikulum sekarang (K13) dikenal dengan aspek
spiritual atau kecakapan spiritual.
Kedua, kompetensi sosial. Sama-sama penting untuk diajarkan karena didalamnya berisikan tentang
keterampilan hidup dalam masyarakat, nah masyarakat disini sifatnya luas ya (bisa masyarakat sekitar, sekolah, kampus, dll). Kompetensi sosial ini sering kita kenal dengan sebutan sikap empati, tenggang rasa, siap berkorban, atau bahkan
kemampuan berkomunikasi dengan baik. Oh iya
dalam istilah K13 dikenal dengan nama kecakapan sosial.
Ketiga, kompetensi rasional. Hal yang wajib dilatih dan ajarkan kepada peserta didik, dalam hal ini adalah kemampuan berpikir dan pertimbangan yang logis serta sehat akal. Kemudian dalam hal kemampuan berpikir secara logis dan sistematis, dan juga dalam hal berpikir kritis dan kreatif.
Keempat, kompetensi akademis. Yaitu keterampilan yang berkaitan dengan
penguasaan pengetahuan pada bidang-bidang tertentu yang menjadi keahlian peserta didik. Dengan kata lain bersifat ilmiah atau teori. Oh iya perlu diketahui bahwa kompetensi ketiga dan keempat ini jika
dalam istilah K13 dikenal dengan nama aspek pengetahuan.
Kelima, kompetensi vokasional. Merupakan
keterampilan teknis yang sama-sama penting untuk peserta didik kuasai dalam
bidang tertentu. Kalo dalam K13-nya dikenal dengan nama
aspek keterampilan.
Itulah lima (5) penjelasan
terkait kompetensi yang tercakup dalam konsep life skiils, dan sudah
seharusnya kelima-limanya diajarkan dan dididik secara sama rata tanpa
terkecuali. Ringkasnya begini: sebuah kurikulum atau pendidikan
atau pengajaran atau apapun itu konsepnya, jika itu dilaksanakan dengan baik
pastilah akan memiliki tujuan untuk menyiapkan peserta didik untuk meraih
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup (well being) untuk masa mendatang yang
seharusnya menjadi tujuan akhir dari seluruh proses pendidikan.
Khafaratul Majlis bersama-sama... 🙏
[1] Haidar
Bagir, “Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia”, (Jakarta: PT Mizan
Publika, 2019), h. 121
0 komentar: