Masih inget betul apa kata Mbah Jiwo, katanya begini: “Pancasila itu dasarnya sila kesatu sampai ketiga. Cara untuk mencapainya dengan menggunakan sila keempat. Dan tujuannya adalah sila kelima.” Eeet tenang ini cuma sebagai pengantar aja.
Kita
ketahui bahwa dalam perumusan Pancasila ini banyak sekali mengalami proses yang
sangat dinamis sejak pidato Soekarno ditanggal 1 Juni tahun 1945, kemudian gak
lama berselang ada peristiwa Piagam Jakarta ditanggal 22 dibulan dan tahun yang
sama (Juni 1945), sampe pada akhirnya ke rumusan final ditanggal 18 Agustus
tahun 1945.[1]
Point
pentingnya adalah bisa kita bayangkan bagaimana momentum kala itu sangatlah luar biasa, dimana ini merupakan suatu
kesepakatan alias permufakatan bersama yang dicapai melalui kebulatan suara
nasional dari seluruh golongan bangsa yang berlatar belakang majemuk bisa loh menjadi sebuah Bhineka Tunggal Ika.
Gak
cuma sampe disitu aja, kita bisa bayangkan bagaimana para tokoh bangsa kala itu
sangatlah lihai meracik antara Pancasila dengan kemajemukan sehingga terjadi
titik temu di atas nilai proses musyawarah-mufakatnya yang pada ujungnya sama
sekali tidak menunjukkan sifat egoisme diri maupun golongan, bahkan para tokoh
kala itu lebih mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya. Inget
ya kala itu loh.
Tentu ada beberapa faktor yang membuat mereka seperti
itu, salah satunya: mereka (para pejuang/tokoh) menghayati betul gimana
susahnya meraih kemerdekaan yang udah dikhidmatkan oleh seluruh rakyat dalam
ngelawan penjajah. Mereka juga ngalamin betapa sulitnya menentukan dasar negara Pancasila serta
membangun kembali Indonesia pasca kemerdekaan.
Sekali lagi, kita sepakat bahwa seluruh sila Pancasila merupakan hasil pemikiran dan permufakatan bersama yang secara nyata mengandung nilai-nilai fundamental lagi moderat alias tidak ekstrem. Ini terbukti ketika Soekarno menawarkan lima sila dari Pancasila saat sidang BPUPKI, dimana tergambar jelas pemikiran beliau yang sangat moderat kala itu.
Soal Nasionalisme dan Kebangsaan. Soekarno bilang: “kita
mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia” di atas dasar kebangsaan, tetapi
disadari pula ada loh kekhawatiran yang bernama nasionalisme ini, dimana
nasionalisme bisa aja berubah menjadi chauvinisme alias cinta tanah air
secara berlebihan.
Soal sila kedua Internasionalisme alias Perikemanusiaan. Soekarno
ngingetin: “kalo saya bilang Internasionalisme, bukan saya bermaksud untuk
kosmopolitanisme” (paham yang berpandangan bahwa seseorang gak perlu mempunyai
kewarganegaraan / tetap menjadi warga dunia). Justru Internasionalisme gak bisa
hidup subur kalo gak berakar di dalam buminya nasionalisme. Pun sebaliknya,
nasionalisme gak bisa hidup subur kalo gak hidup di dalam taman sarinya Internasionalisme.
Kemudian tentang sila Mufakat atau Kerakyatan. Soekarno pernah
bilang: “Indonesia bukan satu negara untuk satu orang. Bukan juga satu negara
untuk satu golongan. Tetapi kita mendirikan negara, semua buat semua dong, satu
buat semua lah, dan semua buat satu pastinya.” Menurut Soekarno, kalo kita mau
nyari demokrasi, hendaknya jangan demokrasi barat, juga jangan demokrasi dari timur
atau lainnya, tapi carilalah demokrasi permusyawaratan yang memberi arti hidup,
nama kerennya itu politiek-economische democratie (koreksi kalo salah)
alias yang mampu ngedatengin kesejahteraan sosial bagi seluruh warga Negara.
Lanjut tentang sila Kesejahteraan.
Pokonya prinsipnya adalah gak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka. Tapi nyatanya? Ahsudahlah.
Terakhir,
ada sila tentang Ketuhanan. Soekarno dengan tegas mengatakan:
“menyusun Indonesia merdeka adalah dengan cara bertakwa kepada Tuhan YME.” Jadi,
gak cuma bangsa Indonesia aja yang bertuhan, lebih dari itu masing-masing orang
Indonesia hendaknya bertuhan dengan Tuhannya masing-masing. Tentu kita masih
inget dengan kata-kata yang terkenal kala itu, begini bunyinya: Indonesia
jangan dijadikan negara agama, jangan dijadikan negara komunis, negara liberal,
juga sekuler atau lainnya yang bertentangan dengan Pancasila. Maka warga negara
dan negara Indonesia wajib Bertuhan YME. Sekali lagi, pemikiran
Soekarno tentang Pancasila itu sangatlah moderat.
Kalo
kita tarik konteksnya di era sekarang
atau beberapa era terakhir, tentu ada aja persoalan klasik yang masih
mengkhawatirkan terkait implementasi Pancasila. Misal: pejabat negara dari
puncak hingga akar rumput atau dari pusat hingga daerah hendaknya memiliki jiwa,
pikiran, dan juga tindakan yang moderat serta ngejauhin yang namanya
radikal-ekstrem. Pancasila juga jangan dijadikan ‘alat pukul’ untuk melemahkan
komponen bangsa yang kritis atau gak sejalan dengan para pejabat negara.
Demikian pula janganlah mudah memberi lebel radikal-ekstrem kepada pihak lain
sementara dirinya atau golongannya masih jauh dari nilai-nilai Pancasila itu
sendiri.
Mudahnya begini, Apakah seluruh warga dan elit negeri
udah menjadikan Pancasila sebagai nilai yang hidup di dalam jiwanya, pikirannya,
sikapnya, dan juga tindakannya secara nyata?. Apakah Pancasila udah diwujudkan
di dalam praktik berkehidupan berbangsa dan bernegara?, baik dalam hal
internalisasi disetiap lembaga atau institusi, juga dalam semua kebijakan
pemerintah yang telah diputuskan apakah semuanya udah berdasarkan nilai-nilai
Pancasila yang adil dan makmur?
Tentu indikatornya bisa kita liat dengan cara ngebuat
daftar list seluruh kebijakan yang ada, baik itu perundang-undangan, peraturan,
atau langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah apakah sesuai dengan
implementasi Pancasila serta gak ada satu pun yang bertentangan dengannya atau
bagaimana. Nih tak kasih tau lagi, udah seharusnya semua kebijakan apapun itu,
mau politik, ekonomi, pendidikan, pajak dan semuanya yang berurusan dengan
bangsa dan negara mesti wajib sejalan dengan konstitusi dasar. Pastikan juga
segala sistem kekuasaan dan keputusan yang ada di negeri ini janganlah
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Pastikan juga dalam setiap
pengambilan keputusan strategis yang menyangkut eksistensi negara hendaknya bertumpu pada kebeningan jiwa “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebjaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” secara jujur dan terbuka. Bukan pada
digdaya kuasa! ohiya, Selamat memperingati hari lahir Pancasila 1 Juni 2023.
[1]
Bukunya Pak Haedar Nashir, yang judulnya: “Indonesia Ideologi dan Martabat
Pemimpin Bangsa”, hlm. 11
0 komentar: