Sejak pandemi Covid-19 muncul dan ditemukan di Indonesia kurang lebih pada awal Maret tahun 2020 lalu, sejak itu juga cerita ini dimulai. Banyak cerita yang bisa ditulis di sini, bebas mau cerita apa aja yang penting ia lahir di saat pandemi. Ohiya ngomong-ngomong soal pandemi di Indonesia, baik itu cara penanganannya, kasusnya atau apapun itu kondisinya bisa kita ibaratkan kek mainan "yoyo" yang bisa naik turun setiap saat. Setuju? Termasuk di dalemnya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya loh.
Mengkaji PPKM atau apapun itu istilahnya terserah.
Cerita di kala pandemi yang pertama dateng dari berbagai istilah yang dipake di Indonesia terkait kata lockdown. Mulai dari PSBB, PSBB Total, PSBB Transisi, AKB, New Normal, PPKM Mikro, PPKM Darurat, hingga yang terbaru saat ini yaitu PPKM Level 1 sampai 4. Padahal kan intinya cuma satu: yaitu untuk dapat mengurangi atau membatasi semua aktivitas kegiatan masyarakat di luar rumah guna menekan angka penularan.
Ohiya soal istilah PPKM yang baru banget berganti nama ini, kalo gak salah sempet dikritik loh sama Pak Wahyu Budi Nugroho, selaku Sosiolog Universitas Udayana Bali. Katanya: soal perubahan istilah atau nama PPKM Darurat ke PPKM Level 1-4 ini dikhawatirkan bisa mengurangi kewaspadaan masyarakat. Sebab nantinya bikin masyarakat bingung karena penggunaan level angka tersebut sifatnya lebih abstrak. Nah sebagai solusinya, Pak Wahyu mengusulkan seharusnya dari awal pandemi sudah menggunakan istilah normal, waspada, siaga, dan awas atau darurat juga boleh ditaro di paling belakang. Kalo gini kan kek semacem kesiapsiagaan bencana gunung berapi ya gak, siapa tau nantinya masyarakat akan lebih paham dan engga bingung lagi sebab istilah yang ditawarkan tersebut bisa lebih membuat masyarakat mawas karena lebih konkret aja. Selain itu, lebih penting lagi karena secara alamiah, abstrak, atau konkretnya suatu informasi yang diterima masyarakat akan menentukan bagaimana cara mereka merespons atau bersikap terhadapnya.
Secara garis besar sih, hasil evaluasi disetiap istilah-istilah lockdown di Indonesia kek yoyo tadi itu yang bisa naik turun. Kita bisa liat evaluasi PPKM Darurat dari tanggal 03 Juli sampai 20 Juli 2021 kemaren, hasilnya masih sangat memprihatinkan. Kasus penularan masih sangat tinggi. Dari data Satgas penanganan Covid-19 Nasional menunjukkan: dari awal pelaksanaan PPKM Darurat 03 Juli aja udah tercatat kurang lebih ada 27.913 kasus positif per hari. Bahkan hingga akhir PPKM darurat 20 Juli 2021 kemaren tercatat kurang lebih ada 38.325 kasus positif per hari.[1] Bisa kita artikan bahwa upaya PPKM Darurat ini belum menunjukkan hasil yang bagus. Nah pertanyaannya sekarang adalah mungkin gak sih dalam pergantian istilah PPKM Level 1-4 ini atau dalam kurun waktu kurang lebih satu minggu sampe tanggal 02 Agustus 2021 bisa menurunkan angka kasus penularannya?
Mudah-mudahan sih bisa turun angka kasus penularannya, aamiin... Sekarang yang terbaik meski pahit dan sulit adalah yuk sama-sama kita jalani PPKM ini dengan kepatuhan yang berlaku. Sekarang yang harus kita lakukan adalah mengurangi aktivitas di luar rumah, jangan egois, jangan keluar rumah kalo gak urgent bangetlah, mari kita sama-sama berbela rasa kepada tenaga kesehatan dan rumah sakit yang kewalahan, juga yang lainnya, termasuk tukang gali kubur loh.
Masyarakat akan tetep beraktivitas kalo kebutuhannya engga terpenuhi.
Engga mau menyalahkan siapa-siapa, emang masih ada keputusan sebagian orang atau masyarakat yang terpaksa untuk keluar rumah alias bekerja di tengah-tengah kebijakan PPKM ini. Alasan paling kuat mereka terpaksa bekerja di luar rumah adalah untuk menghidupi perekonomian keluarga. Ada juga yang berpendapat jika terus-terusan di rumah aja maka engga akan mendapatkan penghasilan yang cukup, bahkan nihil. Belum lagi kebijakan masing-masing perusahaan, kantor, atau tempat kerja lainnya yang melarang pegawainya untuk bekerja dari rumah.
Ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh anggota DPR Komisi IX (PAN), Bapak Saleh Partaonan D., kurang lebih katanya begini: “kebijakan PPKM tidak akan efektif apabila masih ada warga terdampak yang tidak mendapatkan bansos. Sebab, masyarakat akan tetap beraktivitas di luar jika kebutuhannya tidak terpenuhi.”[2] Iyah juga sih, faktanya di lapangan emang masih banyak kok masyarakat yang terpaksa beraktivitas di luar rumah demi mencukupi kebutuhan sehari-harinya.
Kalo kata Pak Wahyu Budi Nugroho mah begini: “bagaimana juga, PPKM Darurat, PPKM Level, atau apapun itu namanya, baru bisa betul-betul efektif dilaksanakan jika disertai dengan insentif dan bansos yang memadai.” Tapi pak rasa-rasanya kalo harus memenuhi kebutuhan semua masyarakat dengan insentif dan bansos keknya engga bakalan sanggup dah, sebab Pemerintah juga punya keterbatasan.
Hilang rasa di kala pandemi.[3]
Katanya sebagian besar gejala pasien Covid-19 itu engga bisa mengecap dan mencium aroma? Bener begitu? Kalo bener sih berarti ini juga sama yang dialami oleh beberapa pejabat negeri (di atas awan).? Gejalanya itu hilang rasa, tapi bukan indra fisik sih, lebih kepada hilang rasa untuk peduli, hilang rasa untuk berempati, bahkan hilang rasa untuk bersimpati.
Dimulai dari kasus lurah yang nekat gelar pesta pernikahan di tengah-tengah kebijakan PPKM dan membuat heboh masyarakat. Ada juga anggota dewan yang katanya menolak untuk dikarantina padahal baru balik dari luar negeri. Belum lagi tingkah salah satu anggota Dewan yang meminta pemerintah supaya menyediakan rumah sakit khusus pejabat Negara. Ada lagi nih tingkah salah satu anggota Dewan lainnya, katanya dia pokoknya engga mau denger lagi ada anggota dewan yang sulit memperoleh tempat di ICU. Ada lagi tingkah para pejabat yang melakukan lawatan ke luar negeri di tengah-tengah kebijakan PPKM ini, katanya sih ini demi mempercepat pemulihan ekonomi. Belum lagi cerita disaat Pandemi berikutnya dimana masyarakat lagi kesulitan karena PPKM eh malah ada seorang pejabat negara (di atas awan) dengan asyiknya justru sempet-sempetnya loh asik ngetweet bahas sinetron di sosmednya dan akhirnya viral dah.
Ini sih namanya udah Sense of crisis. Terlihat dari elit negeri (di atas awan) ini yang masih memiliki persoalan sosial berupa sikap meminggirkan nilai-nilai kepentingan umum, kesejahteraan bersama, dan kebangsaan.[4] Disatu sisi ancaman kesehatan bisa menimbulkan perubahan di semua lini kehidupan masyarakat. Termasuk timbulnya disrupsi hubungan, terjadinya ancaman akan tercerai-berainya solidaritas sosial, terjadinya sedimentasi sosial, dan pada akhirnya bisa mengakibatkan masyarakat menjadi tersekat-sekat loh ke dalam hierarki sosial yang otomatis akan mengarah kepada degradasi kehidupan sosial.
Padahal nih ya kalo kita liat Negara-negara di luar sana, banyak kok dari pemegang kebijakannya yang engga malu buat menyampaikan atau minta maaf kepada publik secara langsung, bahkan ada loh yang mundur dari jabatannya sebab telah gagal menangani pandemi. Ini di luar loh ya. Padahal kepekaan rasa dari pejabat dan elit politik penting loh dan sangat ditunggu-tunggu serta dibutuhkan sebab bisa menjadi langkah sensitivitas komunikasi yang menumbuhkan kesan baik di masyarakat. Dah lah segitu dulu cerita di kala pandeminya, kalo ada yang mau nambahin taro aja di kolom komen bawah ya. Suwun
Khafaratul Majlis bersama-sama...🙏
[1] Sumbernya penulis lihat dan baca pada surat kabar harian Kompas, edisi Kamis: 22 Juli 2021 yang lalu. Dalam tajuk rencana “Mengkaji PPKM Lima Hari”.
[2] Surat kabar harian Republika, edisi Senin: 26 Juli 2021.
[3] Judulnya dari tulisan Bapak Purnawan Andra, yang bekerja di Direktorat pengembangan dan pemanfaatan Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, penulis tertarik akan judul tersebut karena dinilai sangat unik dan pas menggambarkan cerita di kala pandemi ini.
[4] Ibid, surat kabar harian Kompas, edisi Kamis: 22 Juli 2021, Bapak Purnawan Andra.
0 komentar: