Kisah yang akan saya tulis di bawah ini merupakan kisah yang sudah sangat tidak asing ditelinga anda sepertinya, sebab sudah banyak buku atau ceramah-ceramah yang menjelaskannya. Kurang lebih begini ceritanya :
Suatu pagi ada pemuda yang bernama Tsabit bin Nu’man berjalan di kota atau dipinggiran Kufah Iraq (banyak yang menyebutkan juga Tsabit sedang melakukan perjalanan jauh di bawah cuaca panas terik dan kala itu sedang melewati kebun apel), tiba-tiba sebuah apel jatuh dari sebuah pohon atau kebun. Tanpa berpikir panjang Tsabit pun langsung mengambil dan memakan apel tersebut. Seketika baru memakannya setengah bagian, Tsabit sadar bahwa apel itu bukan miliknya. Ia pun langsung masuk ke kebun dan mencari siapa pemilik apel atau kebun ini dan berjumpa dengan seorang pria.
“Maafkan aku dan ambilah sisanya!” kata Tsabit kepada pria yang dijumpainya.
“Aku tidak bisa memaafkan mu. Ini bukan kebun ku, tapi kebun majikan ku.” Kata pria tersebut.
“Dimana rumah majikan mu? Aku ingin bertemu dengannya dan meminta untuk memaafkan ku.” kata Tsabit setelah bertanya.
“Rumahnya sangatlah jauh, perjalanan bisa sehari semalam dari sini.” Kata pria tersebut.
“Aku akan tetap menemuinya sejauh apa pun rumahnya!” kata Tsabit dalam hati. “Aku tidak boleh memakan sesuatu tanpa seizin pemiliknya. Sebab Nabi telah bersabda : ‘Setiap tubuh yang tumbuh dari makanan yang haram akan dimasukkan neraka.”[1]
Singkat cerita Tsabit pun berangkat berjalan kaki ke rumah pemilik kebun apel dan sampailah ia di depan rumah tersebut.
“Tuan,” kata Tsabit usai mengucapkan salam, “Maafkan aku. Aku telah memakan buah apel anda, dan ini sisanya!”
Pemilik kebun itu menatapnya dengan penuh keheranan.
“Aku tidak akan memaafkan mu!” kata tuan sih pemilik kebun, “Kecuali dengan satu syarat!”
“Apa itu ?” tanya Tsabit.
“Kamu menikahi putri ku!”
“Inikah syaratnya?” tanya Tsabit dalam hati, “Aku makan separuh buah apelnya dan agar dia memaafkan ku, aku harus menikahi putrinya?”
Tsabit pun merasa bingung bukan main, bagaimana tidak, hanya karena memakan setengah buah apel yang jatuh tanpa sengaja ia harus menikahi sih anak pemilik kebun apel tersebut demi mau memaafkannya.
“Sebelum kamu menikah dengannya, aku akan memberitahukan ciri-ciri putri ku agar nanti kamu tidak menuduh ku telah menipu mu. Putri ku itu buta, bisu, tuli, dan lumpuh!” kata tuan pemilik kebun apel tersebut.
Tsabit pun semakin bingung, bagaimana mungkin ia harus menikah dengan gadis yang buta, bisu, tuli, dan lumpuh? Semua itu hanya supaya ia mau memaafkan karena separuh buah apel yang telah dimakannya? Bukankah masih banyak syarat-syarat lain yang lebih ringan? Tanya Tsabit dalam hati.
“Tanpa memenuhi syarat ini, aku tidak akan memaafkan mu!” ujar tuan pemilik kebun.
“La haula wa la quwwata illa billah!” ujar Tsabit dengan yakin.
Lagi-lagi sih pemilik kebun apel mengatakan, “Aku tidak lupa memberitahu mu bahwa putri ku itu jelek! Aku harus mengatakan semua itu kepada mu karena Rasulullah bersabda : “Orang yang menipu kami bukan termasuk golongan kami.”
Mendengar perkataan itu Tsabit menutupi wajahnya dengan kedua tangannya sambil menggumamkan ayat, “(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata : ‘Inna lillahi wa inna ilahi raji’un (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). (Q.S. Al-Baqarah, 156)
“Bagaimana?” tanya tuan pemilik kebun.
“La ilaha illallah Muhammadur Rasulullah.” Kata Tsabit.
“Itu kalimat terbaik,” kata tuan pemilik kebun. “Tapi maksud ku, apa jawaban mu untuk penawaran ku ini?”
Tsabit bingung dan terkejut bukan karena harus menikahi gadis yang jelek, buta, bisu, tuli, lagi lumpuh itu. Tapi Tsabit heran karena memikirkan rahasia senyuman yang menyungging di bibir ayah gadis tersebut. Akhirnya, Tsabit menerima tawaran tersebut. Ia berharap si pemilik kebun itu mau memaafkannya. Ia hanya mengharapkan pahala yang sempurna ketika mau menikahi gadis yang jelek, buta, bisu, tuli, dan lumpuh tersebut. Dan sebelum itu ia tak pernah membayangkan akan menjadi menantu pemilik kebun tersebut.
Singkat cerita terjadilah pernikahan tersebut, dan Tsabit bersiap-siap untuk menemui istrinya. Ia tak memikirkan keburukannya sedikit pun. Hanya ia masih bingung memikirkan arti senyuman tuan pemilik kebun yang sekarang telah sah menjadi ayahnya yang mengembang di bibirnya sesaat sebelum ia mau menerima menjadi menantunya. Apakah ia heran pada keluguannya yang telah berjalan kaki sehari semalem hanya untuk mendapatkan maaf gara-gara separuh buah apel yang telah dimakannya?
Singkat cerita Tsabit pun masuk ke kamar pengantin. Tampaklah seorang gadis membelakanginya.
“Mengapa aku tidak mengucapkan salam terlebih dahulu?” tanyanya Tsabit dalam hati. “Tapi, ayahnya telah mengatakan bahwa ia tidak bisa mendengar? hmm... lebih baik aku tetap mengucapkan salam saja. Kalau pun ia tidak menjawabnya, aku akan tetap mendapatkan sepuluh kebaikan dan jawaban dari para malaikat.” Ujar Tsabit.
“Assalamu’alaikum...” ucap Tsabit.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah wa barakatuh”
Sebuah jawaban yang sangat lembut terdengar. Tsabit menoleh ke kanan-kiri. “Apakah para malaikat menjawab salamnya dengan suara yang bisa didengar?” tanya Tsabit dalam hati. “Atau, apakah ada dayang gadis ini yang datang?”
Namun tidak ada siapa pun disitu. Yang ada hanyalah istrinya yang membelakanginya. Tsabit pun merasa bingung.
“Mengapa aku tidak mengatakan sesuatu? Tapi? Apa yang harus ku katakan, salam kembali?” tanya Tsabit dalam hati lagi. Dan sebelum Tsabit mengucapkan salam, terdengarlah suara yang sangat merdu.
“Apakah kamu sudah sholat Isya?”
Tsabit kembali menoleh ke kanan-kiri. Benar, ternyata istrinyalah yang berbicara. Lagi-lagi Tsabit merasa bingung sebab kata ayahnya telah menyebut bahwa ia tuli, bisu? Istrinya menoleh ke arahnya. Tampaklah seraut wajah yang teramat cantik laksana bulan purnama.
“Ayah mu telah memberitahu ku bahwa kau ....” kata Tsabit yang perkataannya dipotong.
“Aku jelek, buta, bisu, tuli, dan lumpuh.” Kata istrinya yang menimpal meneruskan kata-kata Tsabit.
Betapa kagetnya Tsabit melihat gadis yang sekarang sudah sah menjadi istrinya berdiri, ia tidak lumpuh. Kemudian ia mengulurkan tangannya kepada Tsabit, ia juga tidak buta dan lumpuh.
“Tapi mengapa ayah mu mengatakan kau buta, bisu, dan lumpuh?” ujar Tsabit bertanya.
“Ayah ku telah berkata benar.” Kata sang istri.
“Telah berkata benar?” ujar Tsabit yang masih bingung.
“Ya. Aku buta karena aku tidak pernah melihat segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah. Aku bisu karena aku tidak pernah menggunjing, mengadu domba, dan berkata dusta. Dan aku lumpuh lantaran kaki ku hanya aku pakai untuk mentaati perintah Allah.”
Tsabit menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum lebar karena telah mengetahui rahasia besar dibalik senyum mertuanya.
Naaah, kurang lebih begitu ceritanya... Semoga ada manfaatnya. Suwun
Khafaratul Majlis bersama-sama... 🙏
[1] HR. Baihaqi
dalam Syu’ab Al-Iman dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dari Abu Bakar. Catatan Refrensinya dari buku : Abdul Aziz Asy-Syinawi "Bografi Empat Imam Mazhab"
0 komentar: