#036 : Sang Penguasa atau Sang Pemimpin

Sudah menjadi hal yang biasa, ketika masuk periode akhir setiap pemimpin, atau bahkan saat baru memimpin pun pasti menemui tantangan atau masalah di tengah dinamisnya drama politik-ekonomi-sosial.

Sang Pemimpin

Teringat betul bagaimana kasus Ce*tury hingga proyek Ham*alang yang sampai sekarang masih berdiri kokoh terbengkalai, masih ingat juga bagaimana kasus perusahaan operator seluler Indo*at yang dijual ke negara tetangga, dan masih banyak lagi. Nah, ini semua menandakan bagaimana sikap seorang pemimpin atau penguasa sudah berubah menjadi seorang yang oportunis kekuasaan, disatu sisi mungkin ia lebih mementingkan kepentingan pribadi-kelompoknya dibandingkan kepentingan rakyatnya.

Sejarah mencatat banyak penguasa yang berjuang keras untuk tetap berada di puncak kekuasaan, baik dengan cara yang fair atau dengan cara yang licik dan tersembunyi. Jangan bosan, karena sampai hari ini kita masih menyaksikan bagaimana pola itu terus saja terjadi berulang-ulang. Di awal selalu dininabobokan dengan janji-janji manis, tetapi setelahnya dilupakan begitu saja. Namun dalam setiap kisah tersebut, ada juga pelajaran berharga yang bisa kita ambil hikmahnya.

Masih membekas dalam ingatan kita bagaimana di tengah ketidakpastiaan politik-ekonomi yang diakibatkan pandemi, muncul isu untuk memperpanjang masa jabatan. Agak konyol sih, bagaimana sang penguasa berdalih “ini panggilan darurat loh untuk menyelamatkan negara”. Alasan lainnya adalah “ekonomi negara kita sedang terpuruk, proyek-proyek nasional juga belum selesai”. Ohiya, ia juga berusaha meyakinkan publik bahwa keberadaannya masih terus diperlukan, ya ala-ala superhero lah. Untungnya upaya ini gagal, banyak penolakan dan kecaman dari lapisan masyarakat.

Ia tak menyerah begitu saja, masih ingat dengan langkahnya? bagaimana sang pemimpin menggunakan putra sulungnya untuk memperjuangkan kepentingannya, padahal usianya belum memenuhi persyaratan yang diatur oleh UU. Tapi tenang, ada bantuan kerabat dekat semua jadi beres. Disisi lain, publik pun merespons drama ini dan merasa keputusan tersebut dipengaruhi oleh hubungan pribadi, bukan atas dasar keadilan dan kebenaran. 

Sang Pemimpin

Dalam perjalanannya, sang pemimpin tersebut juga sangat pandai memainkan berbagai macam retorika dan janji-janji kebijakan yang pro-rakyat. Dengan dalih “suara rakyat”, tujuannya jelas untuk meraih dukungan publik yang merasa terpinggirkan oleh elite politik-ekonomi, dan harus diakui itu berhasil. Otomatis ia memperoleh legitimasi-kekuatan politik yang kuat dari rakyat.

Sang pemimpin tersebut juga sukses membuat citra dirinya yang sederhana dan dekat dengan rakyat. Ia seolah-olah menjadi gambaran hidup dari perlawanan terhadap politik oligarki-dinasti. Ia berusaha datang untuk menjadi simbol bagi rakyat, mewakili aspirasi rakyat untuk memiliki pemimpin yang berasal dari kalangan mereka sendiri dan mampu bersaing dengan para elite yang mapan.

Rakyat pun terpincut (awalnya), di mata mereka, pemimpin seperti ini lah yang dibutuhkan sebab ia sangat berbeda dari para elite politik yang biasanya dikenal. Pemimpin tersebut dianggap sebagai “orang seperti kita” yang mampu meraih posisi kepemimpinan tanpa harus memiliki latar belakang keluarga yang berpengaruh atau kekayaan yang melimpah.

Setiap gerak geriknya selalu menarik hati banyak orang, membuat mereka merasa dihargai dan diwakili oleh sang pemimpin tersebut. Mulai dari blusukan ke pasar tradisional, ke sawah dan tempat-tempat lain yang sering dikunjungi rakyat kecil. Ia juga rajin memberikan bantuan sosial, sehingga masyarakat merasa bahwa kepentingan dan kesejahteraannya sangat diperhatikan, terutama oleh government

Sang Pemimpin

Sang pemimpin tersebut juga dikenal sebagai orang visioner pembangunan, yang berfokus pada pembangunan infrastruktur. Bermodal pengalamannya sebagai pedagang mebel, ia mengklaim: “bahwa kemakmuran tidak akan tercapai tanpa perbaikan ekonomi pasar dan infrastruktur yang memadai”.

Singkat cerita ia membuktikkan ucapannya itu dengan menjalankan berbagai macam PSN, gak peduli modal dananya dari mana, gak peduli itu ngutang dulu atau bagaimana, gak peduli itu bunga hutangnya berapa, yang terpenting adalah proyek ini dapat berjalan, lalu manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Kalau sudah begini, otomatis citra dirinya akan semakin kuat sebagai seorang pemimpin yang peduli terhadap kemajuan dan kesejahteraan rakyat.

Dalam karir politiknya, sang pemimpin ini dahulu dikenal dengan sebutan “petugas partai”, namun saat masuk di senja kekuasaannya, ia mulai gak manut. Dan ada hal yang menarik untuk kita cermati atau  bisa saja ini akan menjadi strategi politik di masa yang akan datang, apa itu? Begini, sejarah mencatat hampir semua presiden memiliki parpol yang kuat yang menjadi basis kekuatan politik mereka. Namun, “sang pemimpin ini” gak melakukan pola itu.

Padahal jumlah relawan yang mendukungnya sangatlah besar, tetapi ia menolak untuk mendirikan parpol sendiri. Disatu sisi memang relawan ini sifatnya spontan dan terorganisir secara informal, dengan kegiatan-kegiatan yang didorong oleh kesukaan dan komitmen pribadi terhadap sang pemimpin.

Kita bisa lihat bahwa ini adalah bagian dari strategi, dimana ia memilih untuk berada di luar struktur parpol konvensional, kemudian seolah-olah hal ini memberinya kebebasan untuk bergerak tanpa harus terikat pada kepentingan parpol yang mungkin bertentangan dengan visi-programnya. 

Sang Penguasa

Dalam urusan negosiasi politik bagaimana? Oh, sudah tidak diragukan lagi, sang pemimpin sangat pandai memainkan perannya. Keberhasilan menghimpun dukungan mayoritas mencerminkan kecerdasannya membaca dinamika politik dan memanfaatkan kepentingan-kepentingan parpol untuk keuntungan bersama.

Sang pemimpin juga rela untuk bagi-bagi kue atau insentif berupa jabatan-jabatan komisaris yang diinginkan oleh partai demi menjadikan kompromi sebagai strategi politiknya.

Ia juga merangkul lawan politik terbesarnya dengan memberinya jabatan, dengan demikian ia diklaim sebagai orang yang menghidupkan kembali karir politik lawannya itu yang sudah hampir terlupakan. Ia juga diklaim berhasil membangun reputasi sebagai pemimpin yang mampu mengelola konflik politik dengan bijaksana dan menjaga stabilitas politik negara. Licik dan cerdik sekali memang.

Seperti peribahasa “ada udang di balik batu”. Ya, sang pemimpin melakukan itu semua karena ada maunya, yaitu untuk mempertahankan kekuasaan. Sang pemimpin juga memiliki kontrol penuh terhadap masa-rakyat dengan cara memanfaatkan alat modern-digital seperti bantuan buzzer-influencer.

Di zamannya, kebebasan berbicara, berpendapat, dan kritik pasti akan dilawan dengan peluru UUITE, dan itu berhasil. Otomatis ini membantu sang pemimpin memperkuat kontrolnya terhadap opini publik dan mengurangi potensi oposisi serta kritik yang dapat mengganggu stabilitas government.

Bagi sang penguasa, kebijakan seperti revisi UU-KPK, UU-Cipta Kerja, UU-KUHP jelas sangatlah menguntungkan dirinya sebab bisa mengamankan posisi para elite dan mengontrol masa-rakyat.

Sang pemimpin juga berhasil memompa rasa nasionalisme rakyat lewat berbagai macam hajatan, seperti balapan motor, pertemuan G20 yang mewah, belum lagi event KTT ASEAN, semuanya dirancang untuk meningkatkan citra negeri ini di mata dunia dan memperkuat rasa bangga di kalangan publik. Yaaa berhasil sih kalo hitungan dasarnya untuk meningkatkan reputasi (Indonesia) secara internasional, tetapi disatu sisi banyak kritik yang menyoroti bahwa acara-acara megah itu sesungguhnya hanyalah menyembunyikan masalah-masalah yang lebih mendasar, seperti ketimpangan sosial rakyat, ketidaksetaraan gender, dan isu-isu hak asasi manusia lainnya. 

Sang Pemimpin atau Sang Penguasa

Dari sudut pandang para pemujanya juga lucu, mereka malah cenderung bersikap toleran terhadap tindakan yang salah atau keliru, justru mereka akan menyalahkan orang-orang yang ada di sekitar sang pemimpin jika terjadi kesalahan atau kegagalan. Mungkin mereka juga ngebatin “ah kasian pemimpin ku, orang baik seperti dia kok dikelilingi orang-orang jahat”, lah.

Gak sampai di sini aja, sang pemimpin juga berhasil membangun citra dirinya yang bersih dan tidak terlibat dalam praktik politik yang korup. Ia juga memanfaatkan citra ini untuk membedakan dirinya dengan para politikus profesional yang sering kali terkena masalah. Dengan demikian lagi-lagi ia sedang membangun narasi bahwa dirinya bukanlah politikus, melainkan hanya “orang baik” yang hanya memiliki misi membersihkan poltik dari korupsi dan kejahatan lainnya.

Padahal mah sendirinya juga melakukan nepotisme, sempat melakukan lobi-lobi agar anak dan mantunya bisa dicalonkan wkwk. Tapi herannya kok masih ada sebagian masyarakat yang menganggap ini adalah hal wajar. Mereka bilang “ya wajar aja, udah menjadi praktek umum di level kepala daerah begitu, banyak nepotisme. Yang lain aja boleh masa dia nda boleh”.

Ini seolah menjadi tamparan keras untuk rakyat, dan pada akhirnya rakyat sadar bahwa sang pemimpin sebenarnya orang yang tidak selalu patuh pada aturan, belum lagi soal etika berpolitik yang gak bagus, atau minimal memiliki sikap legowo lah dalam menerima akhir dari kekuasaannya. 

Peyangg.blogspot.com

Di senja kekuasaannya, sang pemimpin ini semakin memprioritaskan kepentingan pribadi dari pada kepentingan rakyat. Akibatnya ada perubahan pergeseran persepsi terhadap sang pemimpin, yang tadinya bersih dan bermoral malah menjadi sosok yang ambivalen (bercabang dua yang saling bertentangan).

Kita perlu akui memang, ia memiliki gaya kepemimpinan yang unik dan berbeda. Ia juga memelihara citra dirinya yang lebih tenang dan sederhana, tetapi tetap mampu mempertahankan pengaruhnya dan mendapat dukungan kuat dari para pendukungnya.

Sebagai penutup sekali lagi, setelah dua periode berkuasa, kita semakin paham bahwa sang penguasa (eh sang pemimpin maksudnya) memulai perjalanan politiknya sebagai seorang yang populis yang mewakili harapan-aspirasi rakyat (awalnya). Tetapi, kini ia berakhir menjadi seorang oportunis kekuasaan, yang lebih mementingkan kepentingan pribadi-kelompoknya dari pada kepentingan rakyatnya. Suwun.

 


Latest
Next Post

post written by:

Ada pepatah bilang begini : tak kenal maka tak sayang. Oleh karenanya marilah kita saling kenal untuk saling sayang, preet!

0 komentar: