Neil Postman- Matinya Pendidikan Redefinisi Nilai-nilai Sekolah

Kita mulai dari sebuah pertanyaan, begini pertanyaannya: apabila seseorang yang anda cintai menderita sakit parah dan anda diharuskan untuk memilih antara berdoa kepada Tuhan demi kesembuhannya, atau memberikan sebuah antibiotik? mana kira-kira yang akan dipilih?

Bagi mereka yang memilih jalan antibiotik pasti akan berpikir: “Tuhan akan membantu orang-orang yang menolong diri mereka sendiri.” Dan bagi mereka yang memilih jalan untuk berdoa akan berpikir: “Tuhan juga akan membantu orang-orang yang berdoa dan yakin kepada-Nya.” Mana yang benar??? Ahsudahlah... pada intinya fokus utama pertanyaan di atas engga perlu untuk dijawab, sebab hal itu engga dimaksudkan untuk membuktikan sesuatu, melainkan lebih kepada untuk mengawali pembahasan tulisan ini yang nantinya ada hubungannya dengan sifat keyakinan.

Kebutuhan terhadap tuhan-tuhan

Ohiya tulisan ini sedikit mengambil referensi dari seorang tokoh guru besar pendidikan asal Amerika, namanya ‘Neil Postman’ yang judul karyanya itu: ‘the end of education’. Ternyata bukan hanya Postman aja yang mengingatkan kita soal kecemasan akan masa depan dunia pendidikan, sebelumnya juga ada tokoh lain seperti Ivan Illich dengan karya terkenalnya ‘descholling society’, lalu ada juga Everett Reimer dengan judul ‘the end of school’, dan yang tak kalah terkenalnya ada seorang Paulo Freire dengan ‘pedagogy of the oppressed nya’.

Kembali ke judul, kata ‘tuhan’ yang penulis maksud disini bukanlah yang memiliki pengertian sebagai sesuatu yang telah menciptakan dunia dan memiliki perintah-perintah moral kek yang ada di dalam teks-teks kitab suci. Tapi ‘tuhan’ disini lebih kepada nama dari sebuah narasi besar, sesuatu yang memiliki kredibilitas, memiliki kompleksitas yang cukup, dan kekuatan simbolis yang bisa menjadikan seseorang mampu mengatur orang-orang di sekelilingnya. Tentu penulis menggunakan kata ‘tuhan’ dengan huruf ‘t’ kecil yaa.

Balik kesoal kecemasan akan masa depan dunia pendidikan, biasanya dimulai dari tingkat yang paling bawah, yaitu sekolah. Nah supaya sekolah itu bisa mencapai banyak kemanfaatan, maka seluruh stakeholder mulai dari orang tua, murid, dan para guru di sekolah haruslah memiliki satu tuhan untuk disembah, yaitu: kebutuhan terhadap tuhan ilmu pengetahuan. Atau bahkan akan lebih baik lagi apabila memiliki beberapa tuhan???.

Selanjutnya ada pertanyaan yang menjadi fokus utama tentang kebutuhan terhadap tuhan ilmu pengetahuan ini, yaitu bagaimana seharusnya proses belajar itu terjadi??? Sebab selama ini penulis melihat dan merasakan, engga sedikit stakeholder yang masiiih aja berputar-putar dan berdebat pada masalah metode atau cara, bukannya kepada persoalan tujuan pendidikan itu sendiri.

Tentu kita semua paham bahwa setiap tuhan dengan segala narasinya itu menawarkan banyak sekali janji-janji tentang surga apabila jika kita mengimaninya. Misal: tuhan ilmu pengetahuan bisa mengirimkan manusia ke bulan, bisa menyuntik manusia untuk melawan penyakit, bisa memindahkan gambar-gambar melewati ruang yang sangat luas supaya gambar itu bisa kita nikmati di ruang-ruang tamu kita, dan masih banyak lagi. Ini semua adalah ulah dari tuhan tersebut yang begitu kuat, dan sama persis kek kebanyakan dewa-dewa di zaman dulu, yang memberikan kepada manusia tindakan kontrol terhadap kehidupan manusia, yaaa ada mirip-mirip lah sama zaman sekarang.

Kita juga semua dibuat berpikir mengapa sih Postman memberikan judul dengan nama ‘the end of education’, yang di dalamnya jelas ada kata ‘end’ (dalam bahasa Inggris) yang mana disitu punya makna ganda: bisa ‘tujuan’ dan bisa juga ‘akhiran’ (mati). Selain itu, atas nama tuhan ilmu pengetahuan, lahirnya proyek-proyek edukasi tidaklah identik dengan praktek-praktek pendidikan yang ada di sekolah. Pendidikan yang diterima di sekolah mungkin menjadi suatu aktivitas yang sangat kolot atau suka dengan mempertahankan keadaan dan kebiasaan lama, (dimana sekolah memang bisa menjadi hal mengerikan) yaitu menjadi sesuatu yang membatasi bagi murid. Dan sudah seharusnya tugas dari sekolah menghapus garis-garis pemisah atau membuat mereka tidak berjarak.

Postman juga mengkritik bagaimana praktek-praktek yang terjadi atas nama tuhan ilmu pengetahuan, yang mana sekolah sama saja dengan penjara katanya. Ruang-ruang kelas bagi murid mirip dengan kerangkeng-kerangkeng  (pintu yang tertutup ketika pelajaran berlangsung sehingga para murid kehilangan yang namanya cakrawala optik alternatif pemikiran). Belum lagi bangku-bangku yang memaku tubuh para murid supaya tidak bergerak. Dan tentu saja para peran guru yang kek sipir yang ada di penjara: marah jika dikritik, atau menolak jika ada usulan, atau membentak jika ada kesalahan, atau bahkan memukul ketika ada yang dirasanya perlu untuk dipukul yaudah gak masalah. Masih berlanjut, salah satu kritik Postman juga menyasar kepada kenyataan pola pengajaran guru kepada murid yang ‘engga tuntas’. Misal: guru sudah banyak mengajarkan para murid program-program komputer terbaru tanpa diajak mengembara ke masa-masa kelahiran komputer, atau jarang sekali membahas proses penciptaannya, murid juga buta mata tentang siapa penemunya, dan tidak mau tau tentang sebab-akibat bagi manusia lain itu apa. 

Dan akibat lain yang ditimbulkan dari tuhan ilmu pengetahuan yang mungkin hampir semua murid rasakan adalah semua mata pelajaran disesakkan ke otak-otak mereka, kesadaran untuk maju coba dipacu lewat pola-pola penciptaan, atau ancaman, atau hukuman, atau keresahan oleh guru. Dengan demikian lahirlah perasaan “ah berangkat ke sekolah dianggap beban yang amat berat oleh para murid”, kalo udah kek ginih berarti sekolah kehilangan roh kanalisasi diri, kehilangan etos kesepahaman, kehilangan ekspresi, kehilangan aktualisasi pemikiran, hilang dah pokoknya. Kalo udah ginih lagi yaaa, yang namanya kesenangan belajar berubah jadi kebingungan, kenyamanan belajar jadi engga bisa ditemukan lagi dah, dan pada akhirnya (meminjam istilah Kurt Singer) ini semua menjadi sebuah pedagogi hitam.

Ya, soal analogi 'pedagogi hitam' akan pola pendidikan yang selama ini dikerjakan sudah sangat tidak terkontrol, karena kita mungkin pernah melihat dan merasakan bahwa anak-anak dididik hanya dalam frame yang guru sebagai sebuah doktriner dan dia selalu mencekoki para murid untuk selalu tunduk terhadap ilmu pengetahuan yang sudah baku, yang di dalamnya tidak ada kritik, tidak ada refleksi, dan tidak ada bentuk pola atau konsep keilmuan baru yang bisa dianggap dinamis dan tidak statis pastinya.

 

Neil Postman-the end of education

Wokeh sekarang kita ke tuhan berikutnya, yaitu kebutuhan tuhan teknologi. Yang mana di dalamnya memiliki penawaran surga yang menyenangkan untuk hidup yang efisiensi, hidup yang makmur pada saat ini dan saat yang akan datang. Ia juga menawarkan kemanfaatannya untuk semua kalangan, kepada orang kaya dan juga kepada orang miskin apabila ia mau meyakini dan mengimaninya. Namun Postman mengkritik: kebanyakan manusia melahap teknologi secara membabi buta, dengan cara menggunakannya, memfungsikannya, dan memperagakannya, namun kita sering lupa apa aja sih hal-hal yang jauh berimplikasi dari teknologi tersebut. Contoh: kita setiap hari membawa gejet dan kita lupa untuk mendalami bahwa di dalam gejet itu bisa mengakibatkan adanya kelumpuhan intelek misalnya loh ini ya, atau mungkin bisa mengakibatkan kemalasan jangka panjang, dan lain sebagainya.

Tanpa sadar kita sudah dicekoki oleh tuhan teknologi secara terapan, secara praktis, namun tidak secara metodelogis maupun intelektual. Kalo udah kek ginih jatohnya kita engga akan pernah berkembang di dalam apa yang diceritakannya di awal, yaitu: dia (manusia) akan tunduk terhadap segala yang diciptakannya sendiri. Nah solusinya sudah pasti menanamkan dan menajalankan yang namanya pendidikan teknologi.

Apalagi di era sekarang pandemi, yang mana kebutuhan akan teknologi menjadi masif-masifnya, kita juga tumbuh didalam kesadaran yang tervirtualkan dan terdaringkan. Tanpa sadar kita juga disentralkan didalam satu wacana teknologi bahwa ‘harus’ menggunakan teknologi sebagai alternatif baru sebagai bentuk pelajaran konvensional, seperti: belajar via daring, kuliah menggunakan zoom, berbagi file lewat online dan lain sebagainya. Nah dari semua contoh kasus di atas, apakah kita melihat ada bentuk pendidikan teknologi yang memang benar-benar proporsional didalam pola semacam itu? Apakah ada? Bahkan yang sering kita temui di lapangan malahan masih banyak yang engga mampu menjalankan pola pendidikan teknologi seperti ini, ditambah mereka ada yang gaptek dengan gejet, mereka sudah ada yang bosen, dan lain-lain. Ini menggambarkan bagaimana teknologi sejauh ia berkembang, dia engga akan pernah bisa membantu maupun difungsikan sebagai alat ukur kemajuan komunikasi, karena didalamnya hanya satu pintu alias satu arah aja yakan. Maka dari itu pentingnya pola pendidikan teknologi harus ditanamkan.

Sebagai penutup, penulis meminjam perkataan dari LPM Aksara, begini katanya: apa yang lebih memikat manusia di zaman ini selain cinta? Jawabannya yakni kuota. Dah lah kalo ada tambahan taro aja di kolom komen. Semoga ada manfaatnya, terima kasih

 

 

 

Khafaratul Majlis bersama-sama...🙏

 

 

 

Previous Post
Next Post

post written by:

Ada pepatah bilang begini : tak kenal maka tak sayang. Oleh karenanya marilah kita saling kenal untuk saling sayang, preet!

0 komentar: