Sudah menjadi hal yang biasa, ketika masuk periode akhir
setiap pemimpin, atau bahkan saat baru memimpin pun pasti menemui
tantangan atau masalah di tengah dinamisnya drama politik-ekonomi-sosial.
Teringat betul bagaimana kasus Ce*tury hingga proyek Ham*alang
yang sampai sekarang masih berdiri kokoh terbengkalai, masih ingat juga bagaimana
kasus perusahaan operator seluler Indo*at yang dijual ke negara tetangga, dan
masih banyak lagi. Nah, ini semua menandakan bagaimana sikap seorang pemimpin
atau penguasa sudah berubah menjadi seorang yang oportunis kekuasaan, disatu
sisi mungkin ia lebih mementingkan kepentingan pribadi-kelompoknya dibandingkan
kepentingan rakyatnya.
Sejarah mencatat banyak penguasa yang berjuang keras
untuk tetap berada di puncak kekuasaan, baik dengan cara yang fair atau
dengan cara yang licik dan tersembunyi. Jangan bosan, karena sampai hari ini kita
masih menyaksikan bagaimana pola itu terus saja terjadi berulang-ulang. Di awal
selalu dininabobokan dengan janji-janji manis, tetapi setelahnya dilupakan
begitu saja. Namun dalam setiap kisah tersebut, ada juga pelajaran berharga
yang bisa kita ambil hikmahnya.
Masih membekas dalam ingatan kita bagaimana di tengah
ketidakpastiaan politik-ekonomi yang diakibatkan pandemi, muncul isu untuk
memperpanjang masa jabatan. Agak konyol sih, bagaimana sang penguasa berdalih “ini
panggilan darurat loh untuk menyelamatkan negara”. Alasan lainnya adalah “ekonomi
negara kita sedang terpuruk, proyek-proyek nasional juga belum selesai”. Ohiya,
ia juga berusaha meyakinkan publik bahwa keberadaannya masih terus diperlukan,
ya ala-ala superhero lah. Untungnya upaya ini gagal, banyak penolakan dan
kecaman dari lapisan masyarakat.
Ia tak menyerah begitu saja, masih ingat dengan
langkahnya? bagaimana sang pemimpin menggunakan putra sulungnya untuk memperjuangkan
kepentingannya, padahal usianya belum memenuhi persyaratan yang diatur oleh UU.
Tapi tenang, ada bantuan kerabat dekat semua jadi beres. Disisi lain, publik pun merespons
drama ini dan merasa keputusan tersebut dipengaruhi oleh hubungan pribadi,
bukan atas dasar keadilan dan kebenaran.
Dalam perjalanannya, sang pemimpin tersebut juga sangat pandai memainkan berbagai macam retorika dan
janji-janji kebijakan yang pro-rakyat. Dengan dalih “suara rakyat”,
tujuannya jelas untuk meraih dukungan publik yang merasa terpinggirkan oleh
elite politik-ekonomi, dan harus diakui itu berhasil. Otomatis ia memperoleh legitimasi-kekuatan politik yang kuat dari rakyat.
Sang pemimpin tersebut juga sukses membuat citra dirinya
yang sederhana dan dekat dengan rakyat. Ia seolah-olah menjadi gambaran hidup
dari perlawanan terhadap politik oligarki-dinasti. Ia berusaha datang untuk menjadi
simbol bagi rakyat, mewakili aspirasi rakyat untuk memiliki pemimpin yang
berasal dari kalangan mereka sendiri dan mampu bersaing dengan para elite yang
mapan.
Rakyat pun terpincut (awalnya), di mata mereka, pemimpin
seperti ini lah yang dibutuhkan sebab ia sangat berbeda dari para elite politik
yang biasanya dikenal. Pemimpin tersebut dianggap sebagai “orang seperti
kita” yang mampu meraih posisi kepemimpinan tanpa harus memiliki latar
belakang keluarga yang berpengaruh atau kekayaan yang melimpah.
Setiap gerak geriknya selalu menarik hati banyak orang,
membuat mereka merasa dihargai dan diwakili oleh sang pemimpin tersebut. Mulai
dari blusukan ke pasar tradisional, ke sawah dan tempat-tempat lain yang sering
dikunjungi rakyat kecil. Ia juga rajin memberikan bantuan sosial, sehingga
masyarakat merasa bahwa kepentingan dan kesejahteraannya sangat diperhatikan,
terutama oleh government.
Sang pemimpin tersebut juga dikenal sebagai orang
visioner pembangunan, yang berfokus pada pembangunan infrastruktur. Bermodal pengalamannya
sebagai pedagang mebel, ia mengklaim: “bahwa kemakmuran tidak akan tercapai
tanpa perbaikan ekonomi pasar dan infrastruktur yang memadai”.
Singkat cerita ia membuktikkan ucapannya itu dengan
menjalankan berbagai macam PSN, gak peduli modal dananya dari mana, gak peduli
itu ngutang dulu atau bagaimana, gak peduli itu bunga hutangnya berapa, yang
terpenting adalah proyek ini dapat berjalan, lalu manfaatnya dapat dirasakan
oleh seluruh lapisan masyarakat. Kalau sudah begini, otomatis citra dirinya
akan semakin kuat sebagai seorang pemimpin yang peduli terhadap kemajuan dan
kesejahteraan rakyat.
Dalam karir politiknya, sang pemimpin ini dahulu dikenal
dengan sebutan “petugas partai”,
namun saat masuk di senja kekuasaannya, ia mulai gak
manut. Dan ada hal yang
menarik untuk kita cermati atau bisa
saja ini akan menjadi strategi politik di masa yang akan datang, apa itu?
Begini, sejarah mencatat hampir semua presiden memiliki parpol yang kuat yang
menjadi basis kekuatan politik mereka. Namun, “sang pemimpin ini” gak melakukan
pola itu.
Padahal
jumlah relawan yang mendukungnya sangatlah
besar, tetapi ia menolak untuk mendirikan parpol sendiri. Disatu sisi memang
relawan ini sifatnya spontan dan terorganisir secara informal, dengan
kegiatan-kegiatan yang didorong oleh kesukaan dan komitmen pribadi terhadap
sang pemimpin.
Kita
bisa lihat bahwa ini adalah bagian dari strategi, dimana ia memilih untuk
berada di luar struktur parpol konvensional, kemudian seolah-olah hal ini
memberinya kebebasan untuk bergerak tanpa harus terikat pada kepentingan parpol
yang mungkin bertentangan dengan visi-programnya.
Dalam
urusan negosiasi politik bagaimana? Oh, sudah tidak diragukan lagi, sang
pemimpin sangat pandai memainkan perannya. Keberhasilan menghimpun dukungan
mayoritas mencerminkan kecerdasannya membaca dinamika politik dan memanfaatkan
kepentingan-kepentingan parpol untuk keuntungan bersama.
Sang
pemimpin juga rela untuk bagi-bagi kue atau insentif berupa jabatan-jabatan
komisaris yang diinginkan oleh partai demi menjadikan kompromi sebagai strategi
politiknya.
Ia
juga merangkul lawan politik terbesarnya dengan memberinya jabatan, dengan
demikian ia diklaim sebagai orang yang menghidupkan kembali karir politik
lawannya itu yang sudah hampir terlupakan. Ia juga diklaim berhasil membangun
reputasi sebagai pemimpin yang mampu mengelola konflik politik dengan bijaksana
dan menjaga stabilitas politik negara. Licik dan cerdik sekali memang.
Seperti peribahasa “ada udang di balik batu”. Ya,
sang pemimpin melakukan itu semua karena ada maunya, yaitu untuk mempertahankan
kekuasaan. Sang pemimpin juga memiliki kontrol penuh terhadap
masa-rakyat dengan cara memanfaatkan alat modern-digital seperti bantuan buzzer-influencer.
Di
zamannya, kebebasan berbicara, berpendapat, dan kritik pasti akan dilawan dengan
peluru UUITE, dan itu berhasil. Otomatis ini membantu sang pemimpin memperkuat
kontrolnya terhadap opini publik dan mengurangi potensi oposisi serta kritik
yang dapat mengganggu stabilitas government.
Bagi
sang penguasa,
kebijakan seperti revisi UU-KPK, UU-Cipta Kerja, UU-KUHP jelas sangatlah
menguntungkan dirinya sebab bisa mengamankan posisi para elite dan mengontrol
masa-rakyat.
Sang
pemimpin juga berhasil memompa rasa nasionalisme rakyat lewat berbagai macam
hajatan, seperti balapan motor, pertemuan G20 yang mewah, belum lagi event KTT
ASEAN, semuanya dirancang untuk meningkatkan citra negeri ini di mata dunia dan
memperkuat rasa bangga di kalangan publik. Yaaa berhasil sih kalo hitungan dasarnya
untuk meningkatkan reputasi (Indonesia) secara internasional, tetapi disatu
sisi banyak kritik yang menyoroti bahwa acara-acara megah itu sesungguhnya hanyalah
menyembunyikan masalah-masalah yang lebih mendasar, seperti ketimpangan sosial
rakyat, ketidaksetaraan gender, dan isu-isu hak asasi manusia lainnya.
Dari
sudut pandang para pemujanya juga lucu, mereka malah cenderung bersikap toleran
terhadap tindakan yang salah atau keliru, justru mereka akan menyalahkan
orang-orang yang ada di sekitar sang pemimpin jika terjadi kesalahan atau
kegagalan. Mungkin mereka juga ngebatin “ah kasian pemimpin ku, orang baik
seperti dia kok dikelilingi orang-orang jahat”, lah.
Gak
sampai di sini aja, sang pemimpin juga berhasil membangun citra dirinya yang bersih
dan tidak terlibat dalam praktik politik yang korup. Ia juga memanfaatkan citra
ini untuk membedakan dirinya dengan para politikus profesional yang sering kali
terkena masalah. Dengan demikian lagi-lagi ia sedang membangun narasi bahwa
dirinya bukanlah politikus, melainkan hanya “orang baik” yang hanya
memiliki misi membersihkan poltik dari korupsi dan kejahatan lainnya.
Padahal
mah sendirinya juga melakukan nepotisme, sempat melakukan lobi-lobi agar anak
dan mantunya bisa dicalonkan wkwk. Tapi herannya kok masih ada sebagian
masyarakat yang menganggap ini adalah hal wajar. Mereka bilang “ya wajar aja,
udah menjadi praktek umum di level kepala daerah begitu, banyak nepotisme. Yang
lain aja boleh masa dia nda boleh”.
Ini
seolah menjadi tamparan keras untuk rakyat, dan pada akhirnya rakyat sadar
bahwa sang pemimpin sebenarnya orang yang tidak selalu patuh pada aturan, belum
lagi soal etika berpolitik yang gak bagus, atau minimal memiliki sikap legowo lah
dalam menerima akhir dari kekuasaannya.
Di
senja kekuasaannya, sang pemimpin ini semakin memprioritaskan kepentingan
pribadi dari pada kepentingan rakyat. Akibatnya ada perubahan pergeseran
persepsi terhadap sang pemimpin, yang tadinya bersih dan bermoral malah menjadi
sosok yang ambivalen (bercabang dua yang saling bertentangan).
Kita
perlu akui memang, ia memiliki gaya kepemimpinan yang unik dan berbeda. Ia juga
memelihara citra dirinya yang lebih tenang dan sederhana, tetapi tetap mampu
mempertahankan pengaruhnya dan mendapat dukungan kuat dari para pendukungnya.
Sebagai
penutup sekali lagi, setelah dua periode berkuasa, kita semakin paham bahwa
sang penguasa (eh sang pemimpin maksudnya) memulai perjalanan politiknya sebagai seorang yang populis yang
mewakili harapan-aspirasi rakyat (awalnya). Tetapi, kini ia berakhir menjadi
seorang oportunis kekuasaan, yang lebih mementingkan kepentingan
pribadi-kelompoknya dari pada kepentingan rakyatnya. Suwun.