#035 : Lima Puluh Plus Satu

Judul di atas bisa ditafsirkan banyak makna. Kalau dalam ilmu matematika, bisa lima puluh ditambah satu (50+1). Kalau dalam voting, lima puluh plus satu bisa dimaknai dialah pemenangnya sebab berhasil mendapatkan perolehan suara lebih dari setengah.

Lima Puluh Plus Satu

Btw selamat ya. Menang kan jagoannya? Pasti kemarin sebelum milih sudah pada baca visi misinya kan?  Pasti kemarin milihnya gak ikut-ikutan berdasarkan like or dislike kan? Oh pasti kemarin milihnya berdasarkan kesamaan ide dan gagasan yang dibawanya kan? Oh pasti kemarin milihnya berdasarkan rasionalitas kan, bukan berdasarkan emocional? ya semoga gak ada lagi tuh slogan yang bunyinya “beri ku satu pemuda, maka akan ku guncangkan MK”, salah tuh slogannya, fix gak benar. Padahal kan yang benar bunyinya “beri ku sepuluh pemuda, maka akan ku guncangkan dunia”, nah ini baru benar. Kan kalo begini jadi siap kita untuk menuju 2045 yang cemas, eh lemas, eh emas maksudnya.

Lima puluh plus satu bisa juga dikaitkan dengan pemimpin dan kepemimpinan. Sebenarnya sudah banyak sih literatur yang membahas hal demikian, tapi gak apa-apa kita bahas lagi lewat lirik lagu Gundhul-gundhul Pacul, tau kan lagu itu? Tau dong.

Diawali dengan lirik Gundhul Pacul, artinya bahwa yang namanya pemimpin itu adalah sebuah tugas mengemban amanah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyatnya.

Kemudian lirik selanjutnya Segane, artinya nasi, bisa kita ibaratkan sebagai suatu amanat dari rakyat, yang ini sangatlah mahal serta harus dijaga betul-betul. Lalu Wakul, jelas artinya bakul, atau bisa kita ibaratkan sebagai tempat atau wadah. Juga sebagai perlambang otoritas, legalitas, dan legitimasi pemerintah yang dipersembahkan oleh rakyat kepada pemimpinnya.

Selanjutnya Nyunggi Wakul, artinya sebagai sebuah perlambang bahwa dalam meletakkan amanat itu harus pada posisi tertinggi, bahkan harus lebih tinggi dari kepala kita. Juga menjadi perlambang bahwa amanat itu harus diposisikan pada derajat yang mulia dibandingkan kepentingan diri sendiri, golongan, ataupun partainya, eh.

Terakhir, ada lirik Wakul nggilmpang segane dadi sak latar, maknanya adalah kalau pemimpin sudah diberikan amanah maka janganlah menyia-nyiakannya. Ibarat seseorang yang membawa bekal nasi tapi bawanya sambil lari ugal-ugalan, yowes sudah pasti jadi berantakan dah tuh, bahkan bisa saja jatuh ke tanah, kalau sudah begini, jadinya kan tidak terdistribusi dengan baik kepada mereka yang membutuhkan. Misal loh ya ini, jangan serius-serius.

Lima Puluh Plus Satu Peyangg

Lantas pertanyaannya adalah sudah sejauh mana pemimpin atau kepemimpinan kita hari ini?

Nah, biasanya untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita bisa menggunakan beberapa indikator, seperti menggunakan konsep MeritrokasiKorporatokrasi. Gampangnya, Meritrokasi adalah dimana sebuah kondisi politik yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk menjadi pemimpin berdasarkan kemampuan dan prestasinya, bukan berdasarkan kekayaan atau kelas sosialnya, ingat loh ya.

Secara definisi, Meritrokasi akan bersandar pada hasil atau prestasi kerja dari seseorang pada posisi jabatan sebelumnya. Memang pada level kepemimpinan tertentu, Meritrokasi ini sudah berjalan dengan baik, tetapi pada level kepemimpinan elit keknya masih sebatas omon-omon doang deh. Gak percaya? Lihat saja bagaimana peran pengusaha begitu dominan dalam dunia politik kita. Mereka bisa leluasa duduk di posisi-posisi strategis pengelolaan negara. Ya bukannya apa-apa sih, cuma khawatir saja adanya berbenturan kepentingan satu sama lain.

Belum lagi adanya peran salah satu petinggi partai (misal loh ini) yang memiliki perusahaan media masa, nah yang terjadi justru media masa miliknya itu menjadi media endors bagi penguasa. Begitu juga saat seorang pengusaha yang menjadi politisi, kemudian terafiliasi dengan organisasi masyarakat (waduh makin untung dah tuh), pun pada akhirnya akan dimanfaatkan untuk kepentingan politiknya. Seolah benturan demi benturan antara kepentingan bisnis dan politik sudah biasa dan dianggap sah oleh mereka. Maka yang kita alami hari ini bukanlah Meritrokasi, melainkan Korporatokrasi.

Peyangg

Bagaimana, sudah bisa menjawab pertanyaan soal pemimpin atau kepemimpinan kita hari ini? Oh belum? kalau begitu kita kasih indikator lainnya, bagaimana kalau kita menggunakan konsep Mediokrasi – Excellence untuk mengukurnya.

Secara definisi, Mediokrasi datang dari dua istilah yang digabungkan dan menjadi istilah baru, terdiri dari kata mediocrity yang artinya ‘ala kadarnya’, dan kratein yang artinya ‘kepemerintahan’. Mediokrasi juga bersandar kepada konsep politik kekuasaan, baik formal maupun informal, dimana standar yang diterapkannya yaaa ‘ala kadarnya’ gitu dan itu normal menurut mereka. Konsep Mediokrasi ini juga sudah pasti menggantikan yang namanya konsep Excellence, ingat loh ya.

Nah, jeleknya Mediokrasi adalah segala sesuatu yang berpotensi melebihi standar ‘ala kadarnya’, itu harus tunduk dan jangan sampai menjadi Excellence. Sebab dalam Mediokrasi, orang-orang yang berkompeten juga harus menepi atau ditepikan. Orang yang memiliki konsep Mediokrasi ini cenderung alergi terhadap segala sesuatu yang dianggap ‘terlalu baik’, bahkan mereka memandang segala sesuatu yang unggul sebagai suatu ‘keburukan’.

Putune Eyangg

Dan lucunya lagi kita diperlihatkan oleh para elit yang demikian, malahan mereka justru menghendaki orang-orang yang tidak kompeten untuk berada disekitarnya, supaya apa, iyap betul, supaya posisi dirinya sebagai elit gak tergantikan dong.

Andai saja para elit kita menggunakan konsep Excellence, beh mantab banget yakan, dimana nantinya sistem tata kuasa akan menggunakan kriteria seleksi berbasis keunggulan atau Excellence, kita jadi makin optimis 2045 emas, bukan cemas apalagi lemas.

Tapi nyatanya, fenomena yang terjadi hari ini justru kita dipertontonkan oleh drama-drama yang lucu sih, sekarang bilangnya A eh besok memutuskan yang B. Memang begitu kali ya para elit kita, sangat mungkin berbalik arah setiap detiknya, atau bertahan dengan ke-idealisannya memang berat, penuh dengan godaan. Dan pada ujungnya kita yang mayoritas adalah termasuk kelas menengah ke bawah sangat mungkin akan terdampak dengan apa-apa yang akan mereka putuskan. Seolah-olah para elit seperti acuh dengan realita yang dirasakan oleh masyarakat. Ketika aturan dibuat, seringnya sih pembuat aturan atau kebijakan gak merasakan sendiri dampak dari aturan yang ditetapkannya.

Mereka yang semestinya membawa aspirasi rakyat justru asik dengan kepentingan mereka sendiri. Mereka tidak peduli dengan tanggung jawab yang akan atau sedang mereka emban. Belum lagi beban APBN yang semakin membengkak, plus hutang negara dan pemerintah yang gak jelas peruntukannya, belum lagi daya beli masyarakat yang semakin menurun seolah-olah tidak mereka pedulikan.

Sebaliknya, yang nampak justru mereka sibuk dengan kasus remeh-temeh urusan keluarga dan kepentingan serta kesenangan pribadi pada kemewahan ala kaum borjuis norak. Sedangkan tanggung jawab yang mereka emban malah dijalani dengan sekenanya saja, gak serius. Padahal belum lama ini mereka mengemis-ngemis untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya. Kemana tarekat demokrasi yang mereka iklankan selama ini yang katanya sebagai satu-satunya jalan terbaik menuju keadilan sosial, preet. Kenyataannya masyarakat kita saat ini justru bukan dibawa dalam suasana demokrasi yang baik, tapi Mediokrasi ala Medioker.

Ya meskipun begitu, kita akui juga sih tetap ada loh kebijakan yang berpihak kepada rakyat, tetapi harus diakui bahwa presentasenya masih terlalu kecil jika dibandingkan keberpihakan penguasa terhadap oligarki (yang semakin menggerus sumber daya alam kita ini).

50+1 Peyangg

 Kalau sudah begini timbul pertanyaan lagi, apakah kita masih akan percaya atas kepemimpinan baru ini? Apakah kita masih bisa menggantungkan harapan dan cita-cita besar kesejahteraan yang selama ini ditunggu-tunggu? Apakah benar kita ini adalah negara yang demokratis?

Sebab begitu seringnya kita ditipu daya oleh para penguasa, rakyat juga seperti menikmati jebakan demi jebakan yang dibuat oleh penguasa, satu persatu janji yang pernah terucap, justru muncul dalam bentuk praktik pengkhianatan moral atas sumpah jabatan yang pernah diucapnya.

Lagi dan lagi rakyat kelas menengah ke bawah kecelik berkali-kali, tertipu berkali-kali, diperdaya berkali-kali. Belum lagi soal kepentingan elit juga menjadi satu hal yang selau diutamakan dibandingkan kepentingan rakyat, yang pada akhirnya rakyat memang benar-benar hanya menjadi pelengkap penderita.

Kehadiran rakyat hanya benar-benar dibutuhkan oleh penguasa pada saat hari pemungutan suara saja. Selebihnya, rakyat hanya menjadi boneka dalam serangkaian seremonial penguasa agar dianggap seolah memikirkan rakyatnya. Gak heran sih jika kemudian muncul stigma bahwa yang namanya kebodohan dan ketidakberdayaan rakyat, itu memang dirawat dan dipiara oleh penguasa. Sekali lagi, dipiara dan dirawat loh bukannya dihilangkan atau diberantas. 

Mau sampai kapan seperti ini terus? kita sudah lelah dan capek menyaksikan oknum politisi yang selalu melakukan money politik yang mereka anggap ini hal biasa saja. Disatu sisi, kita juga harus sadar, rakyat pun harus melek bahwa yang namanya money politik itu hanya memuaskan sesaat saja. Dapat uang secara cepat hanya bermodalkan berangkat ke bilik suara. Pun akhirnya nanti konsekuensi dari money politik itu adalah uang rakyat bisa saja jadi target korupsi.

Jangan bermimpi deh adanya perubahan, selama kita sebagai rakyat gak berani menghukum oknum seperti itu. Oleh karenanya sesekali kita harus menghukum atau melawannya, dengan apa? Tentu dengan tidak memilihnya saat berada di bilik suara, sebab dengan cara itulah satu-satunya celah mosi tidak percaya rakyat kepada politisi.

Peyangg.blogspot.com

Terakhir, dan ini juga sebagai harapan semoga ke depannya pemimpin atau kepemimpinan kita bisa diisi oleh orang-orang yang memiliki jiwa Teknokrat. Secara definisi, Teknokrat atau Teknokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan yang diisi oleh orang-orang yang memang pakar secara teknis dan pengetahuan pada bidangnya. Sudah pasti Mereka adalah orang-orang yang memiliki keahlian dan kemampuan dalam bidangnya, sehingga saat mereka diberi kesempatan atau wewenang untuk mengurusinya, maka segala kebijakan yang diambil berdasarkan latar belakang pengetahuan yang dimilikinya.

Dalam sebuah perusahaan misalnya, kalau struktur organisasinya disusun berdasarkan kapasitas dan kapabilitasnya. Dan jika orang-orang yang tepat ditempatkan pada jabatan yang sesuai dengan kapasitasnya, dijamin deh perusahaan tersebut akan berjalan pada track yang baik. Pun demikian ekosistem perkembangan perusahaan juga akan dibawa pada masa depan yang cerah sebab orang-orang yang tepat memegang tanggung jawab sesuai dengan kapasitas dan perannya masing-masing.

Ya semoga gak terjadi lagi tuh kejadian kek kemarin, soal urusan pertanahan malah diurusi oleh seorang jebolan militer (tau kan siapa hehe), ada lagi elit yang sebelumnya mengurusi perhutanan eh justru kini mengurusi perdagangan (aduh), dan masih banyak lagi. Nah ini kan lucu kek gak pas aja gitu. Jangankan Teknokrasi, Meritrokasi aja masih jauuuuh.

Sekali lagi, kita membutuhkan pemimpin yang Teknokrat, bukan pemimpin yang hanya karena popularitas semata. Sebab kita memiliki harapan besar kepada pemimpin tersebut untuk mampu menempatkan para teknokrat diposisi atau jabatan yang sesuai dengan kapabilitasnya. Karena kita berharap Indonesia ini benar-benar diurusi oleh mereka yang memang ahli dalam bidangnya. Sehingga tercapainya sila kelima Pancasila itu tidak menjadi angan-angan lagi, bahwa yang namanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia benar-benar terwujud. Aamiin . . . . .

 

 

Suwun!





#034 : Delapan Golongan Orang Bertaqwa?

Oleh-oleh satu Syawal kemarin yang masih membekas hingga detik ini dan akan selalu diingat. Katanya, ada delapan golongan orang yang bertaqwa:

Tingkatan paling bawah ada orang-orang kafir. Mereka itu juga bisa dikatakan sebagai orang yang taqwa loh (percaya terhadap kepercayaan ya) 

Naik satu level di atasnya, ada golongan orang-orang murtad. Point pentingnya adalah kalo murtadnya sekali kemudian ia kembali login, maka Allah akan maafkan. Tapi kalo berkali-kali keluar masuk, yasudah, Allah tutup pintu tobatnya.

Naik satu level di atasnya lagi, ada golongan orang-orang muslim syirik. Dengan kata lain ia beragama, tapi percaya juga sama hal-hal yang sifatnya menjerumus kepada perbuatan syirik, kek percaya inilah itulah.

Level di atasnya lagi, ada golongan orang-orang muslim munafik. Alias bermuka dua. Nah ini bahaya juga nih.

Di atasnya lagi, ada golongan orang-orang muslim tapi fasik. Ia beragama tetapi enggan menjalankan amalan-amalannya. Istilahnya “KTP doang ada tulisan beragamanya tapi kelakuannya engga banget bahkan jauh dari ajaran agama”. Misal loh ya.

Nah, masuk posisi tiga besar, ada golongan orang-orang Muslim. Kemudian dua besar, ada golongan orang-orang Mukmin. Dan posisi paling atas, ada golongan orang-orang Muttaqin.

peyangg.blogspot.com


x

Pertanyaannya, gimana caranya bedain antara golongan orang-orang Muslim dengan Mukmin, dan Muttaqin? Begini analoginya:

Golongan Muslim ketika denger adzan, responnya: ah baru adzan, ah nanti-nanti aja sembahyang nya, ah baru jam satu dan macem-macem alesan lainnya, tapi ia tetep melaksanakannya.

Golongan Mukmin ketika denger adzan, responnya: ia langsung bergegas wudhu, langsung sembahyang diawal waktu.

Golongan Muttaqin, ketika setengah jam mendekati waktu sembahyang, ia sudah wudhu, ia sudah rapih, bahkan sebelum adzan berkumandang ia sudah melaksanakan sholat sunah terlebih dahulu, melaksanakan tadarus, melaksanakan zikir serta bersholawat.


Pertanyaannya. Dimana posisi kita? Suwun....






 

x

#033 : Manusia Modern ?

Awalnya bingung mau nulis apa sebab udah lama juga gak nulis lagi. Terakhir kali nulis itu ada diedisi #032, akhir tahun lalu. Udah cukup lama dari target yang harusnya satu bulan sekali diagendakan, tapi akhirnya susah untuk diwujudkan, ya gak apa-apa lah yang penting masih berusaha.

Diawal-awal sempat bingung lagi, kira-kira mau ngangkat tema apa sebab tulisan sebelumnya momennya bagus, yaitu soal drama jelang hajatan besar negeri ini. Nah, kalo sekarang momennya tuh sebetulnya ada juga sih, pasca pemilihan umum, tapi keknya udah keburu males bahas gitu-gituan lagi, tapi yaaa nanti nyerempet tipis-tipis ke situ gak apa-apa.

peyangg.blogspot.cpm

Gimana kalo kita mulai dengan pertanyaan aja, begini: Apa sih manusia modern itu? Apakah dia yang meletakkan etika di atas segalanya? Ah engga engga, gak mungkin, kenyataannya sekarang banyak masyarakat yang sebel ngeliat adanya perilaku menyimpang yang udah jelas-jelas dan nyata itu salah, eeeeeeh tapi malah bisa bebas alias lolos gitu aja karena katanya prosedural formal hukum yang gak memadai. Atau karena kemampuan peradilan yang gak mampu menyentuh orang-orang yang memiliki power? Tapi kalo dipikir-pikir, ini mirip ya sama tingkah laku kepemimpinan hari ini, yang dimana udah banyak kegilaan yang dilakukannya hingga kita sebagai rakyat cuma bisa geleng-geleng kepala tak berkesudahan.

Padahal kita udah tau bahwasannya sejak dari dulu Tuhan udah mengutus salah satu Nabi atau Rasul pilihan-Nya untuk memperbaiki moral atau akhlak masyarakat yang kala itu dinilai udah gak sejalan dengan hakikat manusia itu sendiri. Kenapa demikian, sebab para pemimpinnya dan masyarakatnya melakukan yang namanya penyimpangan. Nah, kita disuruh belajar dari situ.

Pertanyaannya masih sama. Apa sih manusia modern itu? Apakah dia yang memanfaatkan IPTEK hanya untuk meningkatkan jumlah produksi tanpa batas, juga mengeksploitasi bumi dan memperbudak manusia? Apakah dia yang selalu manut dengan setiap perintah yang diberikan oleh atasannya? Apakah dia yang memanfaatkan IPTEK hanya untuk memenuhi hasrat keserakahannya? Apakah dia yang banyak menguasai berbagai macam bidang sains? Ditambah lagi di era sekarang yang banjir akan informasi dimana-mana, dan seolah-olah manusia menjadi mahluk yang paling bener dibalik layar gawai dan papan ketiknya itu.

Apa itu manusia modern? Apakah dia yang disebut sebagai generasi sandwich? Generasi yang harus menanggung hidup orang tuanya, anaknya, dan dirinya sendiri. Selain itu, dia juga yang harus bertanggung jawab pula dengan urusan orang tuanya, orang yang dituakannya, dan juga dirinya sendiri?

Manusia modern itu apa sih? Apakah dia yang memiliki rasa cinta seperti cintanya Layla-Majnun? Dalam kisahnya, laki-laki bernama Majnun itu sedang dimabuk asmara oleh Layla, seorang perempuan yang dicintainya, namun cinta mereka terhalang oleh restu orang tua, lantas Majnun menjadi stres dan gila bahkan kehidupannya udah kalang kabut akibat cinta yang berlebihannya itu. Bahaya sih emang.

Tapi dari kisah ini kita bisa belajar, yaitu sikap kesetiaan yang ikhlas, juga tentang ketabahan dan keteguhan hati, lalu bagaimana belajar tentang menyikapi sebuah takdir atau ketentuan Tuhan, dan memaknai kehidupan yang mendalam. Yaaa semoga kita bisa terhindar dari pemahaman yang salah tentang cinta. Apalagi cinta kekuasaan.

Opo wong modern iku? Apakah dia yang bisa mengenyam pendidikan di kota? Apakah dia yang bersekolah di gedung yang bagus serta tinggi, seragam yang keren, fasilitas yang okeh, serta bayaran SPP jutaan tiap bulannya yang kemudian berasumsi menganggap mereka yang berpendidikan di desa sangatlah terbelakang darinya?

Eh tapi, kenyataannya zaman udah berubah, makin kesini pendidikan udah saling terbuka deng. Kini yang dibutuhin bukan cuma kecerdasan sempit alias satu dimensi aja, melainkan juga serangkaian kemampuan kompetensi yang holistik.

Terakhir, Apa sih manusia modern itu? Bentar, masih inget gak sama kisah Rasul atau Nabi Muhammad SAW., yang kala itu melakukan hijrah ke suatu daerah yang dimana padahal disitu masih ada salah satu keluarga dekat dari Rasulullah SAW., singkat cerita setelah Rasul berhasil menemuinya, lalu memberikan nasihat-nasihat terbaiknya eh tapi malah pada akhirnya respon masyarakat disitu amatlah buruk. Mereka marah, mencaci maki, lalu mengusirnya, bahkan Rasulullah SAW. mendapat ancaman akan dibunuh. Lebih parahnya lagi masyarakat (Thaif) melempari Rasul dengan menggunakan batu lalu mengenai salah satu bagian tubuhnya dan terluka. Sungguh perilaku yang sangat menyimpang.

Pada posisi terjepit ini, Malaikat Jibril mencoba melamar, merayu, menawarkan sekaligus meminta untuk memohon supaya Rasulullah SAW. meminta kepada Allah untuk menghancurkan masyarakat Thaif dengan cara meledakkan beberapa bukit, sehingga bebatuan di bukit itu dapat menjatuhi masyarakat Thaif. Tapi justru Rasulullah SAW. lebih memilih bergeming, karena emang bukan itu respon yang beliau pengen. Malahan Rasul justru memilih untuk mendoakan masyarakat Tahif supaya dikemudian hari ada diantara keturunan Thaif yang beriman, dan doa itu benar-benar terkabulkan.

Dari peristiwa Thaif ini, kita bisa belajar gimana sebegitu hebatnya logika atau pola pikir Rasul dalam memutuskan apa-apa yang seharusnya, bahkan sekaliber Malaikat Jibril aja engga mampu menjangkau logika dari pada Rasul tersebut. Atau mungkin juga Rasulullah SAW. sendiri mampu menjangkau logika Allah SWT. (?) Apa seharusnya begini ya manusia modern itu??? 


Suwun….

#032 : Drama (blunder) lagi

Ora ada hubungannya sama debat maren, tenang. Tipis-tipis dulu aja alias sing ringan-ringan wae, jangan langsung digas. Ohiya disclaimer dulu, ini bukan lagi kampanye ya, apa lagi soal dukung mendukung salah satu paslon, bukan bukan. Tapi mungkin tulisan ini masih ada kaitannya sih sama tulisan sebelumnya #031.

Peyangg.blogspot.com

Emang paling enak tuh nyari-nyari kesalahan orang lain, bener. Tapi positifnya, ini bisa jadi pelajaran buat semua, biar ora jatuh ke lubang yang sama katanya. Tapi kalo tetep jatuh pada lubang yang sama yaaa itu namanya keterlaluan alias blunder.

Ohiya ngomongin blunder biasanya sering kita denger pada sebuah permainan olahraga kek sepak bola, basket dan sebagainya. Gampangnya blunder itu adalah sebuah kesalahan yang memalukan sebagai akibat dari kebodohan atau kecerobohan diri sendiri. Kalo dalam dunia olahraga, ada pemain yang ngelakuin kesalahan ini bisa membuat timnya rugi. Atau contoh sederhananya begini: kamu pengen manggil nama pacarmu nih, eh yang keluar dari mulut malah nama mantanmu, wadduh ini blunder nih wkwk….

Nah sama, keknya akhir-akhir ini panggung politik kita lagi banyak banget blundernya deh (?) gak percaya, nih tak kasih tau. Masih inget tempo hari itu ada salah satu tokoh yang mengeluarkan statement terkait rapor merah penegakan hukum di era pemerintahan sekarang. Kok bisa-bisanya ya dia ngomong begitu, dia lupa tah kan pemimpin yang menjabat sekarang itu berasal dari produk mu sendiri.

Lanjut. Masih inget ada juga salah satu tokoh yang lagi Car Free Day di hari minggu eeeeh dia malah asik bagi-bagi susu di HI. Yaaaa gimana ya, takut jadi salah paham aja nanti dikira ada sosialisasi penyampaian visi, misi. Bukannya apa-apa toh diperaturan kan udah jelas, gak boleh ada kegiatan politik di CFD. Gak itu aja, bahkan kemarin sempat rame soal salah sebut asam sulfat buat ibu hamil wkwk… kan harusnya asam folat ya? Ini sih blunder parah.

Juga masih inget, ada salah satu tokoh yang gak mau dateng untuk diajak diskusi atau debat? Alesannya sih katanya, dia cuma mau dateng untuk debat atau diskusi kalo acara itu bener-bener resmi dari penyelenggara KPU aja. Padahal kalo kita liat dari sudut pandang yang lain momentum kek diskusi atau debat gini bisa jadi ajang kampanye buat memaparkan visi, misi, dan program termasuk upaya untuk meraih simpati para pemilih sehingga bisa terbangun tuh koneksi dengan rakyat atas janjinya yang disampaikannya itu tadi.

Ada juga tokoh yang ditanya sama kaum milenial terkait sulitnya mendapatkan pekerjaan eeeeeh dia jawab singkat banget, “jadi pengusaha aja” wkwkwk… gak segampang itu bos, kesannya kek asal jawab aja dan gak sama sekali menyentuh akar permasalahannya.

Drama Blunder lagi

Belom lagi soal pernyataan dari salah satu ketum parpol yang mengatakan bahwa penguasa sekarang bak orba. Loh loh loh sebentar, bukannya selama hampir sepuluh tahun ini kamu ya yang berkuasa tah?

Gak sampe disini aja, blunder yang berujung minta maaf juga terjadi kepada salah satu caleg yang menyinggung terkait adanya politik dinasti di Jogja yang otomatis membuat sebagian masyarakat kecewa, marah dan pada gilirannya saling lapor melaporkan.

Yaaa begitulah manusia, kadang suka banget yang namanya buat blunder, baik sengaja ataupun engga. Wis lah point pentingnya adalah: cerita ini belom usai cuma hanya kepenggal sesaat aja dan mari kita lanjutkan kembali! Suwun….

 

#031 : Drama (udah) dimulai !
Drama 2024 dimulai

Random aja sih awalnya mau apa yang dibahas atau ditulis. Ngalor ngidul sambil duduk, sambil nyender, sambil mikir, sambil baca, sambil nyaksiin keknya bahas tentang drama politik yang lagi otw dua ribu dua puluh empat menarik sih?

Yah, namanya juga drama pasti ada aja yang bikin heboh. Kek udah ber-episode-episode atau ber-series aja tiap hari kita bisa liat, kita bisa baca, kita bisa denger lewat media massa maupun media sosial yang di dalemnya udah disuguhin sama alur cerita yang beragam. Belom lagi kita dipertontonkan oleh kisah romansa koalisi yang menarik, disajikan juga duel elektabilitas yang saling sikut hingga oposisi yang seolah-olah merasa tersakiti.

Yaaaa kalo ditanya “siapa aktornya?” yaaaa udah pastilah para politikus dan para elit partai. Eh, sama para simpatisannya juga deng.

Drama 2024 sudah dimulai

Masih inget soal perubahan jadwal masa pendaftaran pemilu yang tiba-tiba dirubah atau dimajukan? Yang awalnya jadwal pendaftaran dimulai tanggal 19 Okt – 25 Nov, eh digeser ke tanggal 10 Okt – 16 Okt. Nah ini drama nih. Apa urgensinya? Harusnya kudu ada penjelasan dulu ke publik secara rinci terkait alasan perubahan tersebut. Yaaa walaupun pada akhirnya publik juga udah bisa nebak sih pasti mereka ngeluarin dalil “kalo gak dimajuin bisa ganggu kegiatan pemilu alias bakalan gak kekejar nantinya”, katanya.

Masih inget soal kejadian dipanggilnya salah satu bacawapres ke komisi anti rasuah beberapa waktu yang lalu? Nah ini drama lagi nih. Padahal kita tau, baru banget dia mendeklarasikan sebagai bakal calon eeeh besoknya langsung dicolek. Kalo udah gini banyak banget opini-opini liar yang muncul dan mengatakan ah pemanggilan tersebut sarat dengan nuansa politik alias buat saling jegal doang (?) Lagian wong kasuse wis sue, wis awit mbiyen tahun 2012 koh nembe muncul maning ditahun 2023 ini. Ya meskipun hanya sebatas sebagai saksi aja sih.

Juga masih ingat soal isu yang baru-baru ini muncul, terkait keinginan adanya dua paslon aja? Nah ini juga drama loh. Padahal kan kita menganut sistem demokrasi ya, harusnya banyakin aja tuh paslon paslon yang maju atau nyalonin, sebab dengan pilihan yang banyak tak jamin dah ruang publik bakalan makin tersalurkan sehingga gak terjadi yang namanya apatisme politik.

Yaaaa kalo seandainya besok dua ribu dua puluh empat cuma ada dua paslon aja, agak khawatir juga sih muncul lagi dah tuh nanti polarisasi politik kek 2019 kemaren (?) Yaaa harapannya semoga rakyat diberikan lebih banyak pilihan, gak cuma di faith a comply sama dua pilihan aja, ya semoga. Jadi kapan nih bikin poros ketiga keempat kelima dan keenam hehehe....

peyangg.blogspot.com

Terakhir sebagai penutup, kalo kita amati keknya ada dua narasi besar yang muncul terkait visi kepemimpinan nasional yang bisa dijual saat pemilu besok, yaitu narasi perubahan dan narasi keberlanjutan. Ya ga sih (?) Secara logika kek sih A ngalor, sih B ngidul, gak ketemu dah tuh. Nah ini drama banget sumpah, yang penuh dengan kejutan dan dinamika.

Yang satu bawa konsep perubahan, dimana orang awam banyak menafsirkan atau banyak yang mencurigai sebagai upaya mengoreksi atau mengganti semua kebijakan-program yang udah ada. Dan yang satu pengennya kekeh alias ngotot sama konsep keberlanjutannya, yang bisa aja kita artikan sebagai keinginan untuk meneruskan legacy dari kepemimpinan sebelumnya.

Ya begitulah drama politik kita hari ini, sekarang jadi kawan besok bisa aja jadi lawan. Ini juga yang dirasakan oleh beberapa parpol kontestan pemilu. Kemaren ada dibarisan KIM eh sekarang udah keluar. Kemaren yang keliatan mesra kek orang pacaran eh kawinnya sama orang lain, kentiiiiiirrr....

Bentar bentar, ini kan dua konsep yang berbeda ya antara perubahan dan keberlanjutan? Tapi dengan masuknya salah satu parpol yang katanya berideologi moderat itu ke dalam koalisi perubahan tanpa sadar sedikitnya udah ngemasukin unsur dari konsep keberlanjutan loh. Sebaliknya, dengan bergabungnya parpol berlogo Mercy ke dalam KIM juga tanpa sadar bisa aja ngerubah slogan mereka dengan konsep keberlanjutannya. Sebab parpol berlogo Mercy tersebut udah lama loh pengen menyuarakan adanya perubahan, tapi disatu sisi mereka masuk ke dalam barisan koalisi government. Menarik dan sangat cair sekali drama ini.

Yaaaa harapannya semoga ke depan udah gak ada lagi yang saling menuduh bahwa yang ngedukung perubahan berarti dia gak menginginkan keberlanjutan, atau sebaliknya siapa yang menarasikan keberlanjutan berarti dia gak pengen adanya perbaikan.

Justru malah keberlanjutan engga bisa terlepas dari elemen-elemen perubahan itu sendiri. Emangnya lo kira dari sekian banyaknya kebijakan gak ada satu pun yang keliru? Ooooh pasti ada aja yang masih keliru dan itu perlu diperbaiki alias dirubah, namanya juga manusia. Jadi, untuk para pendukung keberlanjutan tak ingetin nih mestinya gak usah alergi dengan yang namanya perubahan, wokeh.

Begitupun dengan perubahan, sejatinya bukan berarti main batal, main hapus, main gak mau nerusin kebijakan yang udah ada, bukan, bukan seperti itu. Tapi malah perubahan justru akan lebih memperkaya sekaligus memberikan keadilan kepada seluruh masyarakat. Karena itu, dalem konteks menjalankan roda government, justru meneruskan yang baik serta mengubah yang gak baik sesungguhnya adalah hal yang lumrah. Suwun!

 

 

 

#030 : Komunikasi

Soal komunikasi yang kembali dateng beberapa hari yang lalu, bersyukur alhamdulillah seneng pake banget. Tapi disatu sisi timbul sebuah pertanyaan. Kira-kira masuk ke dalem mana tingkatan komunikasi ini ya ?

Peyangg.blogspot.com

Kalo kata Pak Mules Munroe, ada lima tingkatan komunikasi dalem berhubungan "romantis". Tapi menurut ku gak cuma soal romantisnya aja, ini bisa masuk ke mana aja yang penting judulnya komunikasi antara dua atau tiga orang atau lebih. Bahkan komunikasi pemimpin dengan rakyatnya juga bisa.

Pertama, komunikasi "b aja" alias biasa aja. Contohnya ketemu orang asing yang baru dikenal, misal: lagi antri atau lagi di jalan, biasanya cuma "say hello" aja. Ohiya komunikasi ini sifatnya dangkal dan aman, berisikan juga topik yang sifatnya umum gak ngelibatin topik-topik pribadi.

Kedua, komunikasi yang udah ngelibatin tentang orang lain. Misal: awalnya pengen ngobrolin tentang latar belakang masing-masing eh gak taunya malah ngobrolin atau gibahin temenlah, sahabatlah, inilah, itulah. Tapi disatu sisi dengan ngobrolin hal tersebut bisa ngebuat nyaman satu sama lain.

Ketiga, komunikasi sejati. Pada tahap ini udah mulai berani buat ngeluarin ekspresi diri kek semacem ide-ide, pendapat, gagasan, juga keputusan yang dibuat. Pada tahap ini juga udah mulai ngerasa nyambung dan berhasil buat ngedapetin respon satu sama lain. Ohiya komunikasi ditahap ini juga sifatnya udah mulai terbuka tentang dirinya terhadap lawan bicaranya.

Tapi jangan lupa, pada tahap komunikasi di sini ada yang namanya resiko. Sebab biasanya kalo udah saling terbuka, saling tuker pikiran, ide, pendapat, gagasan, juga keputusan, tanpa sadar kita juga sedang ngebuka kemungkinan adanya penolakan.

Keempat, komunikasi pada tahap ini udah lebih maju dari sebelumnya. Pada tahap ini juga udah lebih terbuka dan udah mulai berbagi emosi satu sama lain. Dengan kata lain, keduanya udah saling nyaman, ngobrolnya juga udah bukan sekedar aku kamu lagi tapi juga soal kita.

Pada tahap ini juga topik yang dibicarakan udah jauh lebih intim kek soal cita-cita, harapan bersama, atau ngomongin bisnis bersama, bahas keinginan beli rumah juga bisa, atau merencanakan untuk memiliki jumlah anak.

Kelima, komunikasi tingkat emosional. Ini merupakan komunikasi tertinggi. Disini udah gak ada lagi yang namanya rahasia-rahasia-an, udah gak ada lagi area-area terlarang antara keduanya untuk dimasuki bersama-sama.

Komunikasi keduanya udah mulai bebas dan cukup aman untuk saling jujur. Tapi jangan lupa, masih ada yang namanya resiko penolakan. Ohiya tingkat komunikasi di sini gak bisa langsung terjadi gitu aja, terkadang harus ngelewatin atau mengulang dari tingkat sebelumnya terlebih dahulu.

Jadi kembali ke pertanyaan di atas, jawabannya ya dikira-kira ajalah ya. Tentunya masih banyak ruang yang masih tertutup satu sama lain, dan emang masih butuh waktu sih untuk ngebukanya satu persatu.... Ayo!

 

#029 : Panca dan Sila !

Masih inget betul apa kata Mbah Jiwo, katanya begini: Pancasila itu dasarnya sila kesatu sampai ketiga. Cara untuk mencapainya dengan menggunakan sila keempat. Dan tujuannya adalah sila kelima. Eeet tenang ini cuma sebagai pengantar aja.

peyangg.blogspot.com


Kita ketahui bahwa dalam perumusan Pancasila ini banyak sekali mengalami proses yang sangat dinamis sejak pidato Soekarno ditanggal 1 Juni tahun 1945, kemudian gak lama berselang ada peristiwa Piagam Jakarta ditanggal 22 dibulan dan tahun yang sama (Juni 1945), sampe pada akhirnya ke rumusan final ditanggal 18 Agustus tahun 1945.[1]

Point pentingnya adalah bisa kita bayangkan bagaimana momentum kala itu sangatlah luar biasa, dimana ini merupakan suatu kesepakatan alias permufakatan bersama yang dicapai melalui kebulatan suara nasional dari seluruh golongan bangsa yang berlatar belakang majemuk bisa loh menjadi sebuah Bhineka Tunggal Ika.

Gak cuma sampe disitu aja, kita bisa bayangkan bagaimana para tokoh bangsa kala itu sangatlah lihai meracik antara Pancasila dengan kemajemukan sehingga terjadi titik temu di atas nilai proses musyawarah-mufakatnya yang pada ujungnya sama sekali tidak menunjukkan sifat egoisme diri maupun golongan, bahkan para tokoh kala itu lebih mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya. Inget ya kala itu loh.

Tentu ada beberapa faktor yang membuat mereka seperti itu, salah satunya: mereka (para pejuang/tokoh) menghayati betul gimana susahnya meraih kemerdekaan yang udah dikhidmatkan oleh seluruh rakyat dalam ngelawan penjajah. Mereka juga ngalamin betapa sulitnya menentukan dasar negara Pancasila serta membangun kembali Indonesia pasca kemerdekaan.

Sekali lagi, kita sepakat bahwa seluruh sila Pancasila merupakan hasil pemikiran dan permufakatan bersama yang secara nyata mengandung nilai-nilai fundamental lagi moderat alias tidak ekstrem. Ini terbukti ketika Soekarno menawarkan lima sila dari Pancasila saat sidang BPUPKI, dimana tergambar jelas pemikiran beliau yang sangat moderat kala itu.

Soal Nasionalisme dan Kebangsaan. Soekarno bilang: “kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia” di atas dasar kebangsaan, tetapi disadari pula ada loh kekhawatiran yang bernama nasionalisme ini, dimana nasionalisme bisa aja berubah menjadi chauvinisme alias cinta tanah air secara berlebihan.

Soal sila kedua Internasionalisme alias Perikemanusiaan. Soekarno ngingetin: “kalo saya bilang Internasionalisme, bukan saya bermaksud untuk kosmopolitanisme” (paham yang berpandangan bahwa seseorang gak perlu mempunyai kewarganegaraan / tetap menjadi warga dunia). Justru Internasionalisme gak bisa hidup subur kalo gak berakar di dalam buminya nasionalisme. Pun sebaliknya, nasionalisme gak bisa hidup subur kalo gak hidup di dalam taman sarinya Internasionalisme.

Kemudian tentang sila Mufakat atau Kerakyatan. Soekarno pernah bilang: “Indonesia bukan satu negara untuk satu orang. Bukan juga satu negara untuk satu golongan. Tetapi kita mendirikan negara, semua buat semua dong, satu buat semua lah, dan semua buat satu pastinya.” Menurut Soekarno, kalo kita mau nyari demokrasi, hendaknya jangan demokrasi barat, juga jangan demokrasi dari timur atau lainnya, tapi carilalah demokrasi permusyawaratan yang memberi arti hidup, nama kerennya itu politiek-economische democratie (koreksi kalo salah) alias yang mampu ngedatengin kesejahteraan sosial bagi seluruh warga Negara.

Lanjut tentang sila Kesejahteraan. Pokonya prinsipnya adalah gak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka. Tapi nyatanya? Ahsudahlah.

Terakhir, ada sila tentang Ketuhanan. Soekarno dengan tegas mengatakan: “menyusun Indonesia merdeka adalah dengan cara bertakwa kepada Tuhan YME.” Jadi, gak cuma bangsa Indonesia aja yang bertuhan, lebih dari itu masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan dengan Tuhannya masing-masing. Tentu kita masih inget dengan kata-kata yang terkenal kala itu, begini bunyinya: Indonesia jangan dijadikan negara agama, jangan dijadikan negara komunis, negara liberal, juga sekuler atau lainnya yang bertentangan dengan Pancasila. Maka warga negara dan negara Indonesia wajib Bertuhan YME. Sekali lagi, pemikiran Soekarno tentang Pancasila itu sangatlah moderat.

Kalo kita tarik konteksnya di era sekarang atau beberapa era terakhir, tentu ada aja persoalan klasik yang masih mengkhawatirkan terkait implementasi Pancasila. Misal: pejabat negara dari puncak hingga akar rumput atau dari pusat hingga daerah hendaknya memiliki jiwa, pikiran, dan juga tindakan yang moderat serta ngejauhin yang namanya radikal-ekstrem. Pancasila juga jangan dijadikan ‘alat pukul’ untuk melemahkan komponen bangsa yang kritis atau gak sejalan dengan para pejabat negara. Demikian pula janganlah mudah memberi lebel radikal-ekstrem kepada pihak lain sementara dirinya atau golongannya masih jauh dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri.

Mudahnya begini, Apakah seluruh warga dan elit negeri udah menjadikan Pancasila sebagai nilai yang hidup di dalam jiwanya, pikirannya, sikapnya, dan juga tindakannya secara nyata?. Apakah Pancasila udah diwujudkan di dalam praktik berkehidupan berbangsa dan bernegara?, baik dalam hal internalisasi disetiap lembaga atau institusi, juga dalam semua kebijakan pemerintah yang telah diputuskan apakah semuanya udah berdasarkan nilai-nilai Pancasila yang adil dan makmur?

Tentu indikatornya bisa kita liat dengan cara ngebuat daftar list seluruh kebijakan yang ada, baik itu perundang-undangan, peraturan, atau langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah apakah sesuai dengan implementasi Pancasila serta gak ada satu pun yang bertentangan dengannya atau bagaimana. Nih tak kasih tau lagi, udah seharusnya semua kebijakan apapun itu, mau politik, ekonomi, pendidikan, pajak dan semuanya yang berurusan dengan bangsa dan negara mesti wajib sejalan dengan konstitusi dasar. Pastikan juga segala sistem kekuasaan dan keputusan yang ada di negeri ini janganlah bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Pastikan juga dalam setiap pengambilan keputusan strategis yang menyangkut eksistensi negara hendaknya bertumpu pada kebeningan jiwa “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebjaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” secara jujur dan terbuka. Bukan pada digdaya kuasa! ohiya, Selamat memperingati hari lahir Pancasila 1 Juni 2023.










[1] Bukunya Pak Haedar Nashir, yang judulnya: “Indonesia Ideologi dan Martabat Pemimpin Bangsa”, hlm. 11