Judul di atas bisa ditafsirkan banyak makna. Kalau dalam
ilmu matematika, bisa lima puluh ditambah satu (50+1). Kalau dalam voting, lima
puluh plus satu bisa dimaknai dialah pemenangnya sebab berhasil mendapatkan perolehan
suara lebih dari setengah.
Btw selamat ya. Menang kan jagoannya? Pasti kemarin
sebelum milih sudah pada baca visi misinya kan?
Pasti kemarin milihnya gak ikut-ikutan berdasarkan like or dislike kan?
Oh pasti kemarin milihnya berdasarkan kesamaan ide dan gagasan yang dibawanya
kan? Oh pasti kemarin milihnya berdasarkan rasionalitas kan, bukan berdasarkan
emocional? ya semoga gak ada lagi tuh slogan yang bunyinya “beri ku satu
pemuda, maka akan ku guncangkan MK”, salah tuh slogannya, fix gak benar.
Padahal kan yang benar bunyinya “beri ku sepuluh pemuda, maka akan ku
guncangkan dunia”, nah ini baru benar. Kan kalo begini jadi siap kita untuk
menuju 2045 yang cemas, eh lemas, eh emas maksudnya.
Lima puluh plus satu bisa juga dikaitkan dengan
pemimpin dan kepemimpinan. Sebenarnya sudah banyak sih literatur yang membahas hal demikian,
tapi gak apa-apa kita bahas lagi lewat lirik lagu Gundhul-gundhul Pacul, tau kan lagu itu? Tau dong.
Diawali dengan lirik Gundhul Pacul, artinya bahwa
yang namanya pemimpin itu adalah sebuah tugas mengemban amanah untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyatnya.
Kemudian lirik selanjutnya Segane, artinya nasi, bisa
kita ibaratkan sebagai suatu amanat dari rakyat, yang ini sangatlah mahal serta
harus dijaga betul-betul. Lalu Wakul, jelas artinya bakul, atau bisa
kita ibaratkan sebagai tempat atau wadah. Juga sebagai perlambang otoritas, legalitas, dan legitimasi
pemerintah yang dipersembahkan oleh rakyat kepada pemimpinnya.
Selanjutnya Nyunggi Wakul, artinya sebagai sebuah perlambang
bahwa dalam meletakkan amanat itu harus pada posisi tertinggi, bahkan harus
lebih tinggi dari kepala kita. Juga menjadi perlambang bahwa amanat itu harus diposisikan
pada derajat yang mulia dibandingkan kepentingan diri sendiri, golongan, ataupun
partainya, eh.
Terakhir, ada lirik Wakul nggilmpang segane dadi sak latar, maknanya adalah kalau pemimpin sudah diberikan amanah maka janganlah menyia-nyiakannya. Ibarat seseorang yang membawa bekal nasi tapi bawanya sambil lari ugal-ugalan, yowes sudah pasti jadi berantakan dah tuh, bahkan bisa saja jatuh ke tanah, kalau sudah begini, jadinya kan tidak terdistribusi dengan baik kepada mereka yang membutuhkan. Misal loh ya ini, jangan serius-serius.
Lantas pertanyaannya adalah sudah sejauh mana pemimpin atau kepemimpinan kita hari ini?
Nah,
biasanya untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita bisa menggunakan beberapa
indikator, seperti menggunakan konsep Meritrokasi – Korporatokrasi.
Gampangnya, Meritrokasi adalah dimana sebuah
kondisi politik yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk menjadi
pemimpin berdasarkan kemampuan dan prestasinya, bukan berdasarkan kekayaan atau
kelas sosialnya, ingat loh ya.
Secara
definisi, Meritrokasi akan bersandar pada hasil atau prestasi kerja dari
seseorang pada posisi jabatan sebelumnya. Memang pada level kepemimpinan
tertentu, Meritrokasi ini sudah berjalan dengan baik, tetapi pada level kepemimpinan
elit keknya masih sebatas omon-omon doang deh. Gak percaya? Lihat saja
bagaimana peran pengusaha begitu dominan dalam dunia politik kita. Mereka bisa
leluasa duduk di posisi-posisi strategis pengelolaan negara. Ya bukannya apa-apa sih, cuma khawatir saja adanya berbenturan kepentingan satu sama lain.
Belum
lagi adanya peran
salah satu petinggi partai (misal loh ini) yang memiliki
perusahaan media masa, nah yang terjadi justru media masa miliknya itu menjadi
media endors bagi penguasa. Begitu juga saat seorang pengusaha yang
menjadi politisi, kemudian terafiliasi dengan organisasi masyarakat (waduh
makin untung dah tuh), pun pada akhirnya akan dimanfaatkan untuk kepentingan
politiknya. Seolah benturan demi benturan antara kepentingan bisnis
dan politik sudah biasa dan dianggap sah oleh mereka. Maka yang kita alami hari
ini bukanlah Meritrokasi, melainkan Korporatokrasi.
Bagaimana,
sudah bisa menjawab pertanyaan soal pemimpin atau kepemimpinan kita hari ini? Oh belum? kalau begitu kita kasih indikator lainnya, bagaimana kalau kita menggunakan konsep Mediokrasi
– Excellence untuk mengukurnya.
Secara definisi, Mediokrasi datang dari dua istilah yang
digabungkan dan menjadi istilah baru, terdiri dari kata mediocrity yang
artinya ‘ala kadarnya’, dan kratein yang artinya ‘kepemerintahan’.
Mediokrasi juga bersandar kepada konsep politik kekuasaan, baik formal maupun
informal, dimana standar yang diterapkannya yaaa ‘ala kadarnya’ gitu dan itu
normal menurut mereka. Konsep Mediokrasi ini juga sudah pasti menggantikan yang
namanya konsep Excellence, ingat loh ya.
Nah, jeleknya Mediokrasi adalah segala sesuatu yang
berpotensi melebihi standar ‘ala kadarnya’, itu harus tunduk dan jangan sampai
menjadi Excellence. Sebab dalam Mediokrasi, orang-orang yang berkompeten juga
harus menepi atau ditepikan. Orang yang memiliki konsep Mediokrasi ini cenderung
alergi terhadap segala sesuatu yang dianggap ‘terlalu baik’, bahkan mereka memandang
segala sesuatu yang unggul sebagai suatu ‘keburukan’.
Dan lucunya lagi kita diperlihatkan oleh para elit yang
demikian, malahan mereka justru menghendaki orang-orang yang tidak kompeten untuk
berada disekitarnya, supaya apa, iyap betul, supaya posisi dirinya sebagai elit
gak tergantikan dong.
Andai saja para elit kita menggunakan konsep Excellence,
beh mantab banget yakan, dimana nantinya sistem tata kuasa akan menggunakan
kriteria seleksi berbasis keunggulan atau Excellence, kita jadi makin optimis
2045 emas, bukan cemas apalagi lemas.
Tapi nyatanya, fenomena yang terjadi hari ini justru kita
dipertontonkan oleh drama-drama yang lucu sih, sekarang bilangnya A eh besok
memutuskan yang B. Memang begitu kali ya para elit kita, sangat mungkin berbalik arah setiap
detiknya, atau bertahan dengan ke-idealisannya memang berat, penuh dengan
godaan. Dan
pada ujungnya kita yang mayoritas adalah termasuk kelas
menengah ke bawah sangat
mungkin akan terdampak dengan apa-apa yang akan mereka putuskan. Seolah-olah para elit seperti acuh dengan
realita yang dirasakan oleh masyarakat. Ketika aturan dibuat, seringnya sih
pembuat aturan atau kebijakan gak merasakan sendiri dampak dari aturan yang
ditetapkannya.
Mereka
yang semestinya membawa aspirasi rakyat justru asik dengan kepentingan mereka
sendiri. Mereka tidak
peduli dengan tanggung jawab yang akan atau
sedang mereka emban. Belum lagi beban
APBN yang semakin
membengkak, plus hutang
negara dan pemerintah yang gak
jelas peruntukannya, belum lagi daya
beli masyarakat yang semakin menurun seolah-olah tidak mereka pedulikan.
Sebaliknya, yang nampak justru mereka sibuk dengan
kasus remeh-temeh urusan keluarga dan kepentingan serta kesenangan pribadi pada
kemewahan ala kaum borjuis
norak. Sedangkan
tanggung jawab yang mereka emban malah dijalani dengan sekenanya saja, gak serius. Padahal belum lama ini mereka
mengemis-ngemis untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya. Kemana tarekat demokrasi yang mereka iklankan selama
ini yang katanya sebagai satu-satunya jalan terbaik menuju keadilan sosial, preet. Kenyataannya masyarakat
kita saat ini justru bukan dibawa dalam suasana demokrasi yang baik, tapi Mediokrasi ala Medioker.
Ya meskipun begitu, kita akui juga sih tetap ada loh kebijakan yang berpihak kepada rakyat,
tetapi harus diakui bahwa presentasenya masih terlalu kecil jika
dibandingkan keberpihakan penguasa terhadap oligarki (yang semakin menggerus sumber daya alam kita ini).
Kalau sudah begini timbul pertanyaan lagi, apakah
kita masih akan percaya atas kepemimpinan
baru ini? Apakah
kita masih bisa menggantungkan harapan dan
cita-cita besar kesejahteraan yang selama ini ditunggu-tunggu? Apakah benar kita
ini adalah negara yang demokratis?
Sebab begitu seringnya kita ditipu daya oleh para penguasa,
rakyat juga seperti menikmati jebakan demi jebakan yang dibuat oleh penguasa, satu
persatu janji yang pernah terucap, justru muncul dalam bentuk praktik
pengkhianatan moral atas sumpah jabatan yang pernah diucapnya.
Lagi dan lagi rakyat kelas menengah ke bawah kecelik berkali-kali,
tertipu berkali-kali, diperdaya berkali-kali. Belum lagi soal kepentingan elit juga
menjadi satu hal yang selau diutamakan dibandingkan kepentingan rakyat, yang
pada akhirnya rakyat memang benar-benar hanya menjadi pelengkap penderita.
Kehadiran
rakyat hanya benar-benar dibutuhkan oleh penguasa pada saat hari pemungutan
suara saja. Selebihnya, rakyat hanya menjadi boneka dalam serangkaian seremonial penguasa
agar dianggap seolah memikirkan
rakyatnya. Gak heran sih jika kemudian muncul stigma
bahwa yang namanya kebodohan dan ketidakberdayaan rakyat, itu memang dirawat
dan dipiara oleh penguasa. Sekali lagi, dipiara dan dirawat loh bukannya
dihilangkan atau diberantas.
Mau sampai kapan seperti ini terus? kita sudah lelah dan
capek menyaksikan oknum politisi yang selalu melakukan money politik yang
mereka anggap ini hal biasa saja. Disatu sisi, kita juga harus sadar, rakyat
pun harus melek bahwa yang namanya money politik itu hanya memuaskan sesaat saja. Dapat uang
secara cepat hanya bermodalkan berangkat ke bilik suara. Pun akhirnya nanti konsekuensi dari money
politik itu adalah
uang rakyat bisa saja jadi
target korupsi.
Jangan bermimpi deh adanya perubahan, selama kita sebagai
rakyat gak berani menghukum oknum seperti itu. Oleh karenanya sesekali kita
harus menghukum atau melawannya, dengan apa? Tentu dengan tidak memilihnya saat berada di
bilik suara, sebab dengan cara itulah satu-satunya celah mosi tidak percaya
rakyat kepada politisi.
Terakhir, dan ini juga sebagai harapan semoga ke depannya
pemimpin atau kepemimpinan kita bisa diisi oleh orang-orang yang memiliki jiwa Teknokrat. Secara definisi, Teknokrat atau
Teknokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan yang diisi oleh orang-orang yang
memang pakar secara teknis dan pengetahuan pada bidangnya. Sudah pasti Mereka
adalah orang-orang yang memiliki keahlian dan kemampuan dalam bidangnya,
sehingga saat mereka diberi kesempatan atau wewenang untuk mengurusinya, maka
segala kebijakan yang diambil berdasarkan latar belakang pengetahuan yang dimilikinya.
Dalam
sebuah perusahaan misalnya, kalau struktur organisasinya disusun berdasarkan
kapasitas dan kapabilitasnya. Dan jika orang-orang yang tepat ditempatkan pada
jabatan yang sesuai dengan kapasitasnya, dijamin deh perusahaan tersebut akan
berjalan pada track yang baik. Pun demikian ekosistem
perkembangan perusahaan juga akan dibawa pada masa depan yang cerah sebab
orang-orang yang tepat memegang tanggung jawab sesuai dengan kapasitas dan
perannya masing-masing.
Ya
semoga gak terjadi lagi tuh kejadian kek kemarin, soal urusan pertanahan malah diurusi
oleh seorang jebolan militer (tau kan siapa hehe), ada lagi elit yang
sebelumnya mengurusi perhutanan eh justru kini mengurusi perdagangan (aduh), dan masih banyak lagi. Nah ini kan lucu
kek gak pas aja gitu. Jangankan Teknokrasi, Meritrokasi aja masih jauuuuh.
Sekali
lagi, kita membutuhkan pemimpin yang Teknokrat, bukan pemimpin yang hanya
karena popularitas semata. Sebab kita memiliki harapan besar kepada pemimpin tersebut
untuk mampu menempatkan para teknokrat diposisi atau jabatan yang sesuai dengan
kapabilitasnya. Karena kita berharap Indonesia ini benar-benar diurusi oleh
mereka yang memang ahli dalam bidangnya. Sehingga tercapainya sila kelima
Pancasila itu tidak menjadi angan-angan lagi, bahwa yang namanya keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia benar-benar terwujud. Aamiin . . . . .
Suwun!